Makalah
REVOLUSI
PERANCIS DAN REVOLUSI RUSIA,
SEBUAH
ANALISIS PERBANDINGAN
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas mndiri
Pada
mata kuliah ……………..
Disusun
oleh:
FAKULTAS
ADAB DAN HUMANIORA
UIN
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2010
Revolusi Perancis dan
Revolusi Rusia, Sebuah Analisis Perbandingan
A.
Revolusi Perancis
Salah satu
ajaran yang berpengaruh di Eropa sebelum Revolusi Perancis adalah ajaran Nicolo
Machiavelli. Ajarannya mendukung kekuasaan raja secara mutlak. Ia menulis dalam
bukunya yang berjudul II Principe (atau The Prince artinya Sang Raja). Dalam
bukunya digambarkan tentang kekuasaan seorang raja yang absolut dengan
kekuasaan tak terbatas terhadap suatu negara, termasuk harta dan rakyat yang
berada di dalam wilayah kekuasaannya. Ajaran Machiavelli berkembang di Eropa
sekitar abad ke-17 dan dianut oleh raja-raja dari Eropa seperti Raja Frederick
II, Tsar Peter Agung, Kaisar Joseph II, Raja Charles I dan juga raja-raja Louis
dari Perancis. Pengaruh
pemikiran Machiavelli bahkan memiliki dampak yang cukup luas dalam pemikiran
politik. Politik modern juga masih mengadopsi pemikiran tersebut. Tidak jarang
politik diartikan sama seperti yang dikemukakan oleh Machiavelli sebagai
"the tools for leader to win and hold the power". Intrik dan konflik
politik sering mewarnai setiap pergantian kepemimpinan di berbagai belahan
dunia. Tidak jarang pula pemikiran politik yang demikian memunculkan pemimpin-pemimpin
besar yang berpengaruh besar bagi kehidupan banyak bangsa. Pemimpin-pemimpin
demikian justru dijunjung tinggi rakyatnya saat mereka berkuasa, tetapi justru
dihujat setelah mereka turun dari tampuk pemerintahannya. Di luar aspek
sentimen negatif rakyat terhadap pemimpin tersebut, pada dasarnya pemimpin
demikian selama berkuasa tidak sedikit menghasilkan berbagai perubahan radikal
dan progresif bagi sistem politik di tingkat nasional maupun dunia.
Selain pemikiran
Machiavelli, ide mengenai pemerintahan raja yang begitu luas juga sebenarnya
dipengaruhi oleh konsep kepemimpinan gereja Katolik di masa tersebut, khususnya
yang dikenal dengan "pontifex maximus". Kekuasaan Paus dengan sistem
pontifex maximus, mendorong para pengusung kekuasaan ingin memperoleh kekuasaan
luas seperti yang dimiliki oleh Paus. Di Eropa Timur, terutama Yunani, ide
tersebut dimanifestasikan dalam bentuk sistem pemerintahan kekaisaran yang
bercorak sama dengan sebutan caesaro-papisme. Jabatan kaisaran adalah sebagai
kepala gereja di negerinya dan sekaligus juga kepala negara. Kesetiaan seorang
warga negara terhadap Tuhan harus ditunjukkan pula dengan sikap taat dan
tunduknya kepada Kaisar sebagai wakil Tuhan.
Revolusi
Perancis adalah masa dalam sejarah Perancis
antara tahun 1789 dan 1799 di mana para demokrat dan pendukung republikanisme menjatuhkan monarki absolut di Perancis dan memaksa Gereja Katolik Roma
menjalani restrukturisasi yang radikal. Meski Perancis
kemudian akan berganti sistem antara republik, kekaisaran,
dan monarki selama 75 tahun setelah Republik Pertama Perancis jatuh dalam kudeta
yang dilakukan oleh Napoleon Bonaparte,
revolusi ini dengan jelas mengakhiri ancien régime (bahasa Indonesia: Rezim Lama; merujuk kepada kekuasaan dinasti
seperti Valois dan Bourbon) dan menjadi lebih penting
daripada revolusi-revolusi berikutnya yang terjadi di Perancis. Banyak faktor yang menyebabkan revolusi ini terjadi, salah satu
di antaranya adalah karena sikap orde yang lama terlalu kaku dalam menghadapi dunia
yang berubah. Penyebab lainnya adalah karena ambisi yang berkembang dan
dipengaruhi oleh ide Pencerahan dari kaum borjuis, kaum petani, para buruh, dan
individu dari semua kelas yang merasa disakiti. Sementara revolusi berlangsung
dan kekuasaan beralih dari monarki ke badan legislatif, kepentingan-kepentingan
yang berbenturan dari kelompok-kelompok yang semula bersekutu ini kemudian
menjadi sumber konflik dan pertumpahan darah.
Masa kekuasaan
Raja Louis XIV diilustrasikan oleh Charles Dickens dalam buku Oliver Twist
sebagai sesuatu kebiadaban golongan aristokrat terhadap rakyat jelata. Golongan
aristokrat memeras rakyat dengan pajak yang tinggi, hidup mewah dan berpesta
pora dengan kekayaan tersebut, dan membiarkan rakyat jelata hidup dalam
kemiskinan dan kelaparan. Rakyat dijerat dengan hukuman yang keras. Penjara
Bastile dibangun sebagai lambang absolutisme raja. Orang-orang yang menentang
kekuasaan raja dan golongan aristokrat akan dipenjarakan dan disiksa selama
berada dalam penjara Bastile. Pada akhirnya mereka juga akan berahir di ujung
pisau guloitine. Tindakan
semena-mena raja dan golongan aristokrat memang menuai protes dari banyak
kalangan. Para pemikir yang sempat mengalamai sendiri Perang Kemerdekaan
Amerika (1776) dan Glorious Revolution di Inggris berusaha menggalang kekuatan
rakyat melalui protes yang disampaikan dalam pemikiran-pemikirannya. John Locke
(1632 - 1704) melancarkan protesnya terhadap absolutisme Perancis dengan
mengemukakan ide-ide mengenai hak asasi manusia (hak milik, hak kemerdekaan,
dan hak kebebasan); stated rule by law; dan perlunya pemisahan kekuasaan.
Montesquieu (1689 - 1755) dalam tulisan berjudul L'esprit des Lois mengemukakan
teori Trias Politica sebagai landasan kenegaraan. Jean Jacques Rouseau (1712 -
1778) dalam bukunya du contract Social mengusulkan tentang perlunya perjanjian
masyarakat, kesamaan, dan kemerdekaan dalam sebuah pemerintahan. Voltaire (1684
- 1778) memprotes cara hidup para bangsawan yang menindas rakyat jelata dan
mengusulkan tentang perlunya pendidikan secara meluas. Ide Voltaire
dikembangkan kemudian oleh Diderot dan D'Alembert dengan menerbitkan 35 jilid
Ensiklopedia yang dihimpun dari karya-karya Voltaire.
Revolusi Perancis
terjadi karena, rakyat sudah tidak tahan lagi terhadap tindakan semena-mena
dari kalangan bangsawan. Kekuasaan raja yang absolut dan penarikan pajak yang
memberatkan menjadi faktor utama pendorong Revolusi Perancis. Sementara
faktor-faktor yang turut mendorong revolusi tersebut adalah: merosotnya
perekonomian Perancis akibat pemborosan kaum bangsawan; tidak adanya kepastian
hukum; perbedaan yang menyolok antar golongan dalam masyarakat; Revolusi
Amerika; Glorious Revolution (1689) dan pemikiran-pemikiran para ilmuwan besar
seperti John Locke dan kawan-kawan. Meletusnya Revolusi Perancis ditandai
dengan diserangnya Penjara Bastile oleh rakyat Perancis pada tanggal 14 Juli
1789. Penyerangan atas penjara tersebut di dasarkan paling tidak pada 3 alasan,
yaitu: (1) penjara Bastile merupakan gudang persenjataan dan makanan; (2)
membebaskan tawanan politik yang dapat mendukung gerakan revolusi; (3)
membebaskan orang-orang tidak berdosa yang telah ditangkap dan dipenjarakan
secara semena-mena ke dalam penjara Bastile.
Keburukan
perekonomian Perancis yang mendorong penindasan terhadap rakyat, selain
disebabkan oleh pemborosan dari kalangan kerajaan juga diakibatkan oleh
keperluan besar yang harus dikeluarkan oleh Perancis untuk mendanai peperangan.
Ketika Perang Kemerdekaan berkobar di Amerika, Perancis mengirim pasukannya
yang dipimpin oleh Lafayette untuk membantu perjuangan rakyat Amerika Utara
antara tahun 1776 - 1783. Bagi perekonomian Perancis, upaya politis demi
kejayaan ini justru turut menyedot anggaran besar yang harus ditanggung rakyat.
Pengalaman perjuangan para prajurit selama mendukung perang tersebut justru
menjadi bumerang bagi pemerintah, karena semangan dan cita-cita kemerdekaan
tersebut turut mendorong mereka juga ingin mendapatkan kebebasan yang sama di
negaranya. Pengalaman
Perang Kemerdekaan Amerika dalam hal ini dapat turut diperhitungkan sebagai
salah satu faktor yang juga mempengaruhi proses Revolusi Perancis. Meskipun
penyerangan terhadap Bastile dimulai dari rakyat biasa yang merasa tertindas
dan terbebani oleh pajak tanah (taille), pajak garam (gabelle), dan juga pajak
anggur (aide); namun jika tidak didukung oleh para prajurit dan pejuang, tentu
Revolusi tersebut tidak akan dengan mudah berhasil. Semboyan Revolusi Perancis
yang diserukan selama masa-masa pergerakan terinsipirasi oleh
pengalaman-pengalaman para prajurit Lafayette semasa mendukung perang
kemerdekaan Amerika.
Tindakan yang
diambil oleh Louis XVI juga sekaligus merupakan langkah bunuh diri paling buruk
dalam pemerintahan Perancis. Louis XVI yang terkenal dengan kepribadiannya yang
polos dan lemah tidak berdaya menghadapi tuntutan pemenuhan kebutuhan anggaran
belanja negara yang terlalu besar. Ia sudah tidak mampu lagi menghadapi
kekosongan kas negara. Dalam keadaan tertekan dan bingung, Louis XVI
mengaktifkan kembali Etats Generaux yang telah dibekukan pada masa pemerintahan
Louis XIII berdasarkan saran dua Menteri kepercayaannya, yaitu Turgot dan
Necker. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh anggota-anggota parlemen untuk
menyerang pemerintahan dan berusaha untuk menancapkan kekuasaan baru di
Perancis. Tujuan Louis XVI ketika mengaktifkan kembali Etats Generaux pada
tanggal 5 Mei 1789 adalah agar dewan rakyat bersidang dan membantu dirinya
untuk mengatasi masalah kekosongan kas negara. Sidang Etats Generaux tidak
dapat menjalankan tugas dengan baik dan tidak memberikan solusi yang berarti.
Justru terjadi perbedaan pendapat tajam diantara anggota-anggota Etats Generaux
itu sendiri. Sidang Etats Generaux pada akhirnya dibubarkan tanpa pengambilan
keputusan apapun.
Kegagalan sidang
Etats Generaux tidak menyurutkan langkah maju para pendukung perubahan.
Kesempatan bagi Dewan Rakyat untuk bersidang yang disetujui oleh raja
dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh golongan III. Golongan III di negeri Perancis
yang terdiri dari para pedagang dan rakyat mengambil inisiatif untuk membentuk
Assemble Nationale (Dewan Nasional). Golongan III didukung oleh para bangsawan,
terutama Mirebeau, Lafayette, dan Sieyes yang sejak lama telah berambisi untuk
mampu berkuasa dan melengserkan kekuasaan raja Perancis. Golongan III melakukan
sidang pada tanggal 17 Juni 1789 sebagai langkah pengukuhan posisi politik.
Dalam sidang tersebut golongan lain juga diberi kesempatan untuk mengambil
bagian, dengan ketentuan bahwa tidak ada pembedaan golongan di dalam pembuatan
keputusan. Penggalangan kekuatan ini ternyata berhasil. Dengan bergabungnya
pendukung dari golongan lain ke dalam Assemble Nationale, pada tanggal 20 Juni
1789, dewan tersebut menyelenggarakan sidang pertama dan mengganti nama menjadi
Assemble Nationale Constituante. (Dewan Konstitusi Nasional). Proklamasi pembentukan
Assemble Nationale Constituante merupakan langkah awal rakyat melalui parlemen
untuk mengambil kembali mandatnya dari raja. Dewan Konstitusi Nasional memiliki
cita-cita tunggal, yaitu mengubah Perancis menjadi sebuah negara yang
berdasarkan konstitusi. Anggota dewan mengucapkan sumpah setia untuk tidak
membubarkan diri sampai dengan terbentuknya konstitusi atau undang-undang.
Pihak kerajaan berekasi keras terhadap tindakan tersebut. Dewan Konstitusi
Nasional dianggap sebagai suatu usaha untuk merebut kekuasaan. Raja
memerintahkan agar sidang dewan dibubarkan. Anggota dewan dan rakyat menolak,
bentrokanpun terjadi antara pasukan keamanan kerajaan dengan anggota dewan.
Kemampuan dewan menggerakkan rakyat pada akhirnya mengarahkan massa dalam
jumlah besar ke penjara Bastile pada tanggal 14 Juli 1789.
Revolusi
Perancis tidak hanya diarahkan kepada kalangan kerajaan saja. Ketidakpuasan
rakyat terhadap kalangan agama dan bangsawan yang dianggap menindasnya juga
turut dilampiaskan. Rakyat yang mengamuk secara membabi buta menyerang ke
rumah-rumah para bangsawan dan biarawan. Mereka merampas, membunuh, dan
mengusir orang-orang kaya tersebut dari rumahnya. Kemudian rumah-rumah mereka
dibakar. Menurut Charles Dickens dalam Oliver Twins, sejak saat itu banyak kaun
bangsawan dan kalangan gereja yang selamat melarikan diri ke luar Perancis.
Mereka kemudian menjadi emigran dan tidak berani kembali ke Perancis. Sementara itu, para
penggerak Revolusi membentuk pemerintahan Revolusi dan melakukan beberapa
tindakan sebagai penguasa baru di Perancis. Lafayette membentuk garde nationale
(pasukan keamanan). Anggota Dewan Konstitusi Nasional membentuk Majelis
Konstituante yang kemudian menyusun Konstitusi Perancis. Konstitusi ini
berhasil dibuat pada tahun 1791 dan ditandatangani oleh Seiyes, Mirebeau, dan
Lafayette. Pemerintahan legislatif juga menghapuskan hak-hak istimewa golongan
bangsawan dan golongan gereja. Hak-hak milik mereka yang tersisa dari rampasan
rakyat disita. Seluruh gelar kebangsawanan juga dihapuskan dan diganti dengan
gelar baru yang lebih memperhatikan hak persamaan, demokrasi, dan persaudaraan.
Pemerintah juga
mengumumkan pernyataan hak-hak manusia dan warga yang telah disepakati tanggal
26 Agustus 1789 oleh Dewan Nasional. Pernyataan tersebut didasarkan pada
semboyan Revolusi Perancis, yaitu liberte, egalite, dan fraternite. Untuk
mengabadikan pernyataan tersebut digunakan bendera nasional yang berwarna merah,
biru, dan putih (vertikal) dan lagu kebangsaan Marseillaise. Sejak saat itu
pula Perancis memperingati hari Nasionalnya, yaitu setiap 14 Juli. Raja Louisnya dan
istrinya berusaha melarikan diri ketika Revolusi terjadi dengan bantuan pasukan
Austria. Namun pada tahun 1792, anggota-anggota kerajaan berhasil ditangkap.
Pada tahun tersebut juga, Dewan legislatif membuat dua keputusan penting, yaitu
menghapuskan bentuk pemerintahan kerjaan dan mengubah Perancis menjadi Republik
serta menjatuhkan hukuman mati dengan guillotin terhadap Louis XVI, Maria
Antoinette, dan para bangsawan istana lainnya yang tertangkap. Eksekusi
terhadap 2000 orang dilakukan pada September 1792.
Perebutan
kekuasaan dialami Perancis pasca revolusi. Sistem pemerintahan silih berganti
dan saling tumbang menumbangkan. Setelah menjadi Republik, Perancis dipimpin
oleh Robespiere, namun huru hara terus saja berlanjut. Tahun 1793 - 1794
terbentuk pemerintahan teror yang dipimpin oleh Marat, Danton dan Robespiere.
Golongan borjuis akhirnya berhasil menggulingkan kekuasaan Robespiere pada
tahun 1795, mereka kemudian membentuk pemerintahan Direktorat yang dijalankan
oleh 5 direktur, yaitu Barra, Mouli, Gobier, Roger Ducas, dan Seiyes yang
berkuasa sampai dengan 1799. Kehilangan kepercayaan rakyat kepada pemerintahan
Direktorat memberi kesempatan kepada Napoleon Bonaparte untuk mengambil alih
pemerintahan. Pada awalnya ia membentuk pemerintahan Konsulat (1799) yang
beranggotakan dirinya sendiri bersama Seiyes dan Roger Ducas. Perbedaan
pendapat diantara ketiga konsul tersebut menyebabkan kedua anggota lainnya pada
akhirnya mengundurkan diri darijabatan. Sejak itu Napoleon Bonaparte kemudian
mengambil alih seluruh kekuasaan dan menobatkan diri menjadi Kaisar Perancis
pada tahun 1804. Penobatan tersebut dimintakan pengukuhannya kepada Paus Pius
VII.
Selama masa
kekaisaran Napoleon Bonaparte, Perancis kembali menjadi sebuah negara yang
terkenal. Napoleon menjalankan pemerintahan dengan sistem militer. Sumbangan
Napoleon Bonaparte bagi Perancis dan dunia juga sangat besar. Bagi Perancis,
semasa kekuasaannya ia berusaha membentuk pemerintahan yang stabil dan kuat.
Napoleon juga mengeluarkan tiga
undang-undang penting,
yaitu code civil, code penal, dan code commerce. Pengembangan politik ke luar
negeri dilakukan dengan cara membentuk Perancis menjadi negara yang jaya di
Eropa. Ia juga berusaha membentuk federasi Eropa di bawah kekuasaan Perancis.
Cita-cita Napoleon Bonaparte menimbulkan reaksi keras dari rakyat Eropa.
Koalisi bangsa-bangsa Eropa pada akhirnya berhasil menangkap dan mengasingkan
Napoleon Bonaparte ke Elba pada tahun 1814.Semangat dan cita-citanya yang besar
membawa ia melarikan diri dan berhasil kembali ke Perancis. Pada tahun 1815 ia
kembali ditangkap dan kali ini ia diasingkan ke Pulau Saint Helena. Setelah keruntuhan
kekaisaran Napoleon Bonaparte, Perancis kembali masuk ke dalam era kegelapan.
Absolutisme kembali berkembang di bawah pemerintahan Raja Louis XVIII (1815 -
1824) dan dilanjutkan oleh Karel X (1824 - 1830). Pada tahun 1830 revolusi
kembali terjadi di Perancis dan sejak saat itu sampai dengan tahun 1848 terjadi
vacuum of Power. Pada tahun 1848, rakyat akhirnya menyelenggarakan pemilu dan
mengangkat Louis Napoleon (Napoleon IV) sebagai pemimpin negara republik.
Kekuasaan dan ambisi kembali mengantarkan Napoleon IV mengakat diri menjadi
Kaisar pada tahun 1861. Pada tahun 1872, Napoleon IV berhasil diturunkan dari
tahtanya dan oleh rakyat disepakati untuk mengesahkan pemerintahan Republik
yang bertahan hingga masa sekarang.
Revolusi
Perancis memiliki pengaruh besar bagi masyarakat dunia. Semboyan dan asas-asas
yang diperjuangkan selama revolusi memberikan sumbangan besar bagi pembentukan
Piagam Hak Asasi Manusia yang disahkan oleh PBB 10 desember 1948. Meskipun sedikit
berbeda dengan Glorious Revolution di Inggris yang menghasilkan Bill of Right.
Perancis juga berhasil membentuk pernyataan hak-hak kemanusian melalui
Revolusi. Piagam yang disepakati pada tanggal 27 Agustus 1789 tersebut antara
lain berisikan pernyataan bahwa: (1) manusia dilahirkan bebas dan memiliki
hak-hak yang sama; (2) hak-hak itu adalah kemerdekaan, hak milik, hak
perlindungan diri, dan hak untuk menentang penindasan; (3) rakyat adalah sumber
dari segala kedaulatan.
Tindakan
penjajahan Belanda dan praktek liberalisme di satu sisi memang menimbulkan
penindasan dan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia. Namun liberalisme dan
keterbukaan sekaligus membuka kesempatan kepada sebagian rakyat Indonesia untuk
memperoleh pencerdasan dan pelajaran berharga. Indonesia memperoleh pengetahuan
baru dan sekaligus mendapatkan semangat untuk menggalang persatuan yang pada
akhirnya mendorong terjadinya pergerakan nasional. Pergerakan nasional inilah
yang selanjutnya mengantarkan Indonesia mencapai kemerdekaan dari Belanda dan
penjajah asing lainnya.
Sebab-sebab
Revolusi Perancis mencakup hal-hal di bawah ini:
1.
Kemarahan
terhadap absolutisme kerajaan.
2.
Kemarahan
terhadap sistem seignerialisme di kalangan kaum petani, para buruh, dan-sampai batas tertentu-kaum borjuis.
3.
Bangkitnya
gagasan-gagasan Pencerahan.
4.
Utang
nasional yang tidak terkendali, yang disebabkan dan diperparah oleh sistem
pajak yang tak seimbang.
5.
Situasi
ekonomi yang buruk, sebagian disebabkan oleh keterlibatan Perancis dan bantuan
terhadap Revolusi Amerika.
6.
Kelangkaan
makanan di bulan-bulan menjelang revolusi.
7.
Kemarahan
terhadap hak-hak istimewa kaum bangsawan dan dominasi dalam kehidupan publik
oleh kelas profesional yang ambisius.
8.
Kebencian
terhadap intoleransi agama.
9.
Kegagalan
Louis XVI untuk menangani gejala-gejala ini secara efektif.
Aktivitas
proto-revolusioner bermula ketika raja Perancis Louis XVI (memerintah
1774-1792) menghadapi krisis dana kerajaan. Keluarga raja Perancis, yang secara
keuangan sama dengan negara Perancis, memiliki utang yang besar. Selama
pemerintahan Louis XV (1715-1774) dan Louis XVI sejumlah menteri, termasuk
Turgot (Pengawas Keuangan Umum 1774-1776) dan Jacques Necker (Direktur-Jenderal
Keuangan 1777-1781), mengusulkan sistem perpajakan Perancis yang lebih seragam,
namun gagal. Langkah-langkah itu mendapatkan tantangan terus-menerus dari
parlement (pengadilan hukum), yang didominasi oleh "Para Bangsawan", yang menganggap diri mereka sebagai
pengawal nasional melawan pemerintahan yang sewenang-wenang, dan juga dari
fraksi-fraksi pengadilan. Akibatnya, kedua menteri itu akhirnya diberhentikan.
Charles Alexandre de Calonne, yang menjadi Pengawas Umum Keuangan pada 1783,
mengembangkan strategi pengeluaran yang terbuka sebagai cara untuk meyakinkan calon
kreditur tentang kepercayaan dan stabilitas keuangan Perancis.
Namun, setelah
Callone melakukan peninjauan yang mendalam terhadap situasi keuangan Perancis,
menetapkan bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan, dan karenanya ia mengusulkan
pajak tanah yang seragam sebagai cara untuk memperbaiki keuangan Perancis dalam
jangka panjang. Dalam jangka pendek, dia berharap bahwa dukungan dari Dewan
Kaum Terkemuka yang dipilih raja akan mengemalikan kepercayaan akan keuangan
Perancis, dan dapat memberikan pinjaman hingga pajak tanah mulai memberikan
hasilnya dan memungkinkan pembayaran kembali dari utang tersebut. Meskipun Callone
meyakinkan raja akan pentingnya pembaharuannya, Dewan Kaum Terkemuka menolak
untuk mendukung kebijakannya, dan berkeras bahwa hanya lembaga yang betul-betul
representatif, seyogyanya Estates-General (wakil-wakil berbagai golongan)
Kerajaan, dapat menyetujui pajak baru. Raja, yang melihat bahwa Callone akan
menjadi masalah baginya, memecatnya dan menggantikannya dengan Étienne Charles
de Loménie de Brienne, Uskup Agung Toulouse, yang merupakan pemimpin oposisi di
Dewan. Brienne sekarang mengadopsi pembaruan menyeluruh, memberikan berbagai
hak sipil (termasuk kebebasan beribadah kepada kaum Protestan), dan menjanjikan
pembentukan Etats-Généraux dalam lima tahun, tetapi sementara itu juga mencoba
melanjutkan rencana Calonne. Ketika langkah-langkah ini ditentang di Parlement
Paris (sebagian karena Raja tidak bijaksana), Brienne mulai menyerang, mencoba
membubarkan seluruh "parlement" dan mengumpulkan pajak baru tanpa
peduli terhadap mereka. Ini menyebabkan bangkitnya perlawanan massal di banyak
bagian di Perancis, termasuk "Day of the Tiles" yang terkenal di
Grenoble. Yang lebih penting lagi, kekacauan di seluruh Perancis meyakinkan
para kreditor jangka-pendek. Keuangan Prancis sangat tergantung pada mereka
untuk mempertahankan kegiatannya sehari-hari untuk menarik pinjaman mereka,
menyebabkan negara hampir bangkrut, dan memaksa Louis dan Brienne untuk
menyerah.
Raja setuju pada 8 Agustus 1788 untuk
mengumpulkan Estates-General pada Mei 1789 untuk pertama kalinya sejak 1614.
Brienne mengundurkan diri pada 25 Agustus 1788, dan Necker kembali bertanggung
jawab atas keuangan nasional. Dia menggunakan posisinya bukan untuk mengusulkan
langkah-langkah pembaruan yang baru, melainkan untuk menyiapkan pertemuan
wakil-wakil nasional.
B.
Revolusi Rusia
Revolusi Rusia 1917 adalah sebuah
gerakan politik di Rusia yang memuncak pada 1917 dengan penggulingan
pemerintahan provinsi yang telah mengganti sistem Tsar Rusia, dan menuju ke
pendirian Uni Soviet, yang berakhir sampai keruntuhannya pada 1991.
Revolusi ini dapat dilihat dari dua fase berbeda, diantaranya: Fase Pertama adalah Revolusi
Februari 1917, yang mengganti otokrasi Tsar Nikolai II Russia, Tsar Russia yang
efektif terakhir, dan mendirikan republik liberal. Fase Kedua
adalah Revolusi Oktober yang diinspirasikan oleh Vladimir Lenin dari partai
Bolshevik, memegang kuasa dari Pemerintahan Provinsi. Revolusi kedua ini
memiliki efek yang sangat luas, mempengaruhi daerah kota dan pedesaan. Meskipun
banyak kejadian bersejarah terjadi di Moskwa dan Saint Petersburg, ada juga
gerakan di pedesaan di mana rakyat jelata merebut dan membagi tanah.
Pada tanggal 29 Juni, Kerensky, pemimpin
Pemerintahan Provisional, mengumumkan kepada angkatan darat dan angkatan laut
untuk memulai serangan baru. Kaum Bolshevik telah menjelaskan kepada Kongres
Soviet, di dalam satu deklarasi yang ditulis oleh Trotsky, pada tanggal 4 Juni,
bahwa “serangan tersebut merupakan sebuah petualangan yang mengancam eksistensi
tentara”. Seperti yang dijelaskan oleh Trotsky dalam “My Life”, tidak akan ada
pidato yang mampu memecahkan masalah yang dihadapi oleh tentara. Ketika serangan
tersebut mengalami kekalahan yang tidak terelakkan, kaum Bolshevik disalahkan
dan diburu dengan kejam. Tetapi pada saat yang sama, kepercayaan massa terhadap
Pemerintahan Provisional ini menurun drastis. Pada tahap ini,
kesadaran politik para tentara dan para pekerja di Petrograd lebih maju
daripada seluruh Rusia. Lenin dan Trotsky tahu benar tentang hal ini dan
mencoba mengembangkan kekuatan dari tendensi-tendensi radikal diantara para
pekerja, tentara, dan pelaut, pada saat yang sama mengumandangkan slogan “All power to the Soviets” (Semua
Kekuasaan kepada Soviet) yang akan mengekspresikan proses radikalisasi
tersebut.
Pada tanggal 21 Juni, suatu pemogokan berkobar
diantara para pekerja ahli di sebuah pabrik raksasa, Putilov. Pemogokan ini
timbul dari perjuangan demi kenaikan upah pada saat periode kekurangan bahan
makanan dan inflasi. Menghadapi keadaan politik yang ada pada saat itu, sebuah
perjuangan ekonomi dalam skala kecil tidak akan berhasil dan pemimpin Bolshevik
serta komite-komite pabrik menasehati para pekerja untuk menahan diri. Tetapi
dalam beberapa hari, menjadi jelas bahwa ada gejolak massal di seluruh kota.
Kemarahan ini ditujukan kepada pemerintah. Seperti yang dilaporkan oleh Serikat
Buruh Brigade Lokomotif yang mengatakan kepada pemerintah, “Untuk terakhir
kalinya kami beritahukan: kesabaran ada batasnya; kami benar-benar tidak dapat
hidup dalam kondisi seperti ini…”
1.
Distrik Vyborg
Pada saat yang sama, beberapa laporan
telah sampai ke ibukota mengenai pembubaran seluruh resimen tentara yang tidak
patuh. Ada gejolak diantara para tentara yang berada di ibukota. Resimen di
distrik Vyborg secara terus-menerus berada dibawah pengaruh kelas pekerja,
terutama para pekerja perempuan. Seperti yang dijelaskan oleh Krupskaya, istri
Lenin, “Yang pertama kali melaksanakan propaganda Bolshevik kepada para tentara
adalah para penjual bibit bunga matahari, kvas (minuman ringan Rusia), dsb.
Banyak dari mereka adalah isteri dari para tentara”. Trotsky menggambarkan
proses ini seperti “disirami oleh sumber air panas kaum proletar secara
terus-menerus.”
Tekanan diantara para tentara sangat
besar, masalah mereka sangattlah mendesak dan mereka kurang paham akan situasi
politik. Sebagaimana yang Trotsky jelaskan dalam “Sejarah Revolusi Rusia”,
mereka mempunyai tendensi untuk terlalu percaya dengan kekuatan senjata. Pertemuan demi
pertemuan dari resimen-resimen menghendaki aksi final melawan pemerintah,
delegasi-delegasi datang dari pabrik-pabrik mendesak tentara untuk turun ke
jalan, dan Resimen Senapan Mesin, yang menghadapi ancaman pengiriman 500 kru
senapan mesin ke garis depan, mengirim delegasinya ke resimen-resimen yang
lain, menyerukan kepada mereka untuk bangkit menentang perang yang tetap
berlanjut. Di
bawah kondisi ini, Komite Sentral Bolshevik, seringkali terpaksa mengirim
beberapa delegasi ke para pekerja dan tentara, menyerukan kepada mereka untuk
menahan diri, karena kekawatiran kalau-kalau suatu kebangkitan yang prematur
dapat dipatahkan dengan konsekuensi yang sangat besar. Seksi-seksi dari militer
dan pekerja mulai mengembangkan struktur informal baru, di bawah soviet-soviet,
ini menunjukkan ketidaksabaran mereka, tetapi juga sekaligus suatu peringatan
terhadap kaum Bolshevik bahwa otoritas politik mereka ada batasnya, bahkan
diantara lapisan-lapisan yang paling maju pun. Kaum Bolshevik Vyborg
mengeluh bahwa mereka harus “memainkan peran sebagai pemadam api”. Akhirnya
Bolshevik tidak dapat menahan gelombang kemarahan para pekerja dan tentara dan
pada tanggal 3 Juli, ribuan pekerja, tentara dan pelaut tumpah ruah ke jalan,
siap bertempur, seksi-seksi dari pekerja dengan mobil-mobil lengkap dengan
senapan mesin dan meriam, yang diberikan oleh para tentara.
Pada jam tujuh, aktivitas industrial
ibukota sudah berhenti total. Buruh pabrik demi pabrik keluar, berbaris dan
mempersenjatai detasemen Garda Merahnya. “Di tengah-tengah massa buruh yang tak
terhitung jumlahnya,” ingat seroang pekerja Vyborg, Meletev, “ratusan Garda
Merah muda sedang bekerja keras mengumpulkan senapan-senapan mereka. Yang
lainnya mengisi peluru ke dalam kotak peluru, mengencangkan ikat pinggang,
mengikatkannya pada ransel-ransel atau pada kotak-kotak peluru, menyetel
bayonet-bayonet mereka. Dan para pekerja yang tidak punya senjata membantu
Garda Merah mempersiapkannya…” Samsonevsky Prospect, arteri utama wilayah
Vyborg, dipenuhi oleh massa. Di kiri kanannya berdiri barisan-barisan buruh
yang ketat. Di tengah-tengah barisan Prospect, berbarislah Resimen Senapan
Mesin yang merupakan tulang punggung arak-arakan ini. Di bagian depan tiap-tiap
detasemen terdapat sebuah mobil truk dengan senapan mesin Maxim. Barisan buruh
berada di belakang barisan resimen Senjata Mesin. Detasemen dari resimen Moskow
bertugas melindungi garis belakang barisan demonstrasi ini. Setiap detasemen
membentangkan sebuah spanduk “All Power to the Soviets!”.[1]
Gerakan ini adalah gerakan yang spontan
yang dipicu oleh kondisi yang dihadapi oleh para tentara dan para pekerja,
tetapi gerakan ini tidak memiliki tujuan atau strategi yang jelas. Dengan
memperhitungkan mood kelas buruh, Komite Sentral Bolshevik, Komite Partai di
Petrograd dan Komite Revolusioner Militer Soviet Petrograd yang didominasi oleh
Bolshevik akhirnya setuju untuk ambil bagian dalam demonstrasi ini, untuk
“memberikannya suatu ekspresi yang terorganisir”. Kaum Bolshevik mencoba secara
efektif untuk mencegah supaya gerakan ini tidak terhancurkan saat ia mengalami
kemunduran yang tidak terelakkan karena kurangnya fokus. Pada saat yang sama,
sangatlah perlu untuk mengambil kepemimpinan di dalam situasi seperti ini,
bersama-sama dengan para pekerja. Bila kaum Bolshevik berdiam diri saja, ini
akan menghancurkan otoritas kaum Bolshevik diantara lapisan yang paling maju.
2.
Gerakan dari Bawah
Arak-arakan demonstrasi menjejali istana
Tauride, dimana Eksekutif Sentral Soviet bermarkas. Para pekerja dan para tentara
sudah jemu akan ketidaktegasan para pemimpin partai-partai reformis ini, Menshevik
dan Sosial Revolusioner,
seperti gerakan bulan Februari yang menggulingkan pemerintahan
Tsar, gerakan ini datang dari bawah, bangkit dari kebuntuan yang dihadapi oleh
Pemerintahan Provisional dan para pemimpin reformis ini. Para pemimpin reformis
ini tercengang, dan kaum Bolshevik tetap mencoba mengendalikan massa dengan
segala upaya. Satu kejadian di bawah ini menggambarkannya dengan sangat jelas.
Di halaman depan istana, sekelompok orang yang
mencurigakan, yang sebelumnya menjauh dari kerumunan, menangkap Chernov,
menteri pertanian, dan membawanya ke dalam sebuah mobil. Kerumunan massa melihatnya
dengan acuh tak acuh,
tidak ada simpati dari mereka terhadapnya. Berita mengenai penangkapan Chernov
dan mengenai bahaya yang mengancamnya mencapai istana Tauride. Kaum populis
memutuskan untuk menggunakan kendaraan lapis baja bersenapan mesin untuk
menyelamatkan pemimpin mereka. Kehilangan popularitas membuat mereka gelisah;
mereka ingin menunjukkan ketegasan. Tetapi, seorang Bolshevik yang bernama Raskolnikov, letnan Angkatan laut
Baltik, yang telah membawa para pelaut Kronstadt ke demonstrasi ini, dengan
bersemangat menuntut untuk melepaskan Chernov seketika itu juga, guna
menghindari anggapan masyarakat bahwa dia telah ditangkap oleh orang-orang
Kronstadt.
Kaum reaksioner bergerak dengan cepat,
para menteri Cadet meninggalkan pemerintah Koalisi dan kaum Borjuis menyerukan
kepada menteri-menteri reformis untuk memutuskan hubungan mereka dengan Soviet.
Surat kabar sayap kanan meraung-raung menuntut darah kaum Bolshevik, meluaskan
propaganda anti-Yahudi, dan menuduh Lenin sebagai mata-mata Jerman. Bahkan para
pemimpin SR dan Menshevik bergabung dengan mereka, meminta Lenin untuk
menyerahkan diri. Meskipun mereka tahu benar bahwa tuduhan-tuduhan terhadap
Lenin tersebut samasekali tidak benar. Lenin pergi bersembunyi setelah dibujuk
oleh para pemimpin Bolsherik yang lain untuk tidak menyerahkan diri, yang akan
berarti bunuh diri. Walaupun begitu, dia setuju bahwa dia akan menyerahkan
dirinya jika surat penangkapannya ditandatangani oleh Eksekutif Sentral Soviet.
Tidak ada gunanya mengatakan bahwa ini merupakan tindakan yang terlalu jauh
bahkan bagi kaum refomis sekalipun.
Bagi
kaum borjuis, pendulum ini belum mengayun cukup jauh ke kanan. Pada sebuah
pertemuan komite provisional Duma, kaum reaksioner membabi buta; Maslenikov
menyerukan pengakhiran Dwi Kuasa, peran dari soviet-soviet dan bahkan: “jika
seribu, dua ribu, mungkin lima ribu bajingan yang ada di garis depan, dan
beberapa lusin lagi yang ada di belakang, bisa dienyahkan, kita tidak akan
menderita suatu aib yang sungguh memalukan.”[2]
(Alexander Rabinowitch, The Bolshevik
Come to Power : The Revolution of 1917 in Petrograd ).
Dalam usahanya untuk memulihkan keadaan,
kaum reaksioner secara terus menerus menghendaki dikembalikannya hukuman mati.
Mereka melakukan ini untuk memulihkan keadaan dalam masyarakat, tetapi secara
fundamental untuk memulihkan keadaan di dalam angkatan bersenjata, yaitu
“kumpulan orang-orang bersenjata” yang dibutuhkan untuk mempertahankan
pemerintah dan seluruh aparatus negara. Hanya berdasarkan ini kaum reaksioner
dapat menghancurkan Dwi Kuasa dan kelas pekerja. Setiap kali gerakan
rakyat mengambil langkah mundur, kaum reaksioner mengambil sebuah langkah maju.
Kaum reaksioner semakin bertambah berani dan para pekerja di Petrograd merasa
semakin terisolasi dan lemah. Dalam perspektif
Lenin, Dengan dikeluarkannya
surat perintah penangkapan bagi Lenin, Kamenev, Zinoviev dan dengan terpukul
kebelakangnya gerakan rakyat, Lenin pertama kali berpendapat bahwa kaum
reaksioner telah meraih kemenangan mutlak. Dia bahkan mempertimbangkan pada
satu tahap bahwa Bolshevik akan beroperasi di bawah tanah “untuk waktu yang lama.”
Trotsky, yang sedang dalam proses mencoba membawa organisasinya, Mezhrayontsi
(Organisasi Inter Distrik) ke dalam Bolshevik, membuat pernyataan solidaritas
terhadap Bolshevik yang dibuat secara sangat publik dan sebagai akibatnya, dia
langsung ditangkap.
Beberapa minggu berlalu sebelum situasi
berubah. Lenin merasa bahwa sebuah kesempatan untuk suatu transformasi
masyarakat secara damai telah lewat dan bahwa kaum Bolshevik perlu
mempersiapkan kemungkinan perang sipil. Untuk sesaat, dia berpendapat bahwa
soviet-soviet telah kehilangan nilainya sebagai organ perjuangan, karena
kepemimpinan soviet telah menyeberang
ke kubu kontra-revolusi. Dia bahkan ingin mengganti slogan yang awalnya “Semua Kekuasaan kepada Soviet”
menjadi “Semua kekuasaan kepada komite
pabrik” dan bahwa partai Bolshevik harus mempersiapkan pemberontakan
berdasarkan ini. Bahkan
di dalam situasi ini, Lenin melihat ke depan dan mempersiapkan sebuah
pemberontakan, berdasarkan pada pemahaman bahwa tidak ada dasar bagi kaum
reaksioner untuk mengkonsolidasikan kekuatan di dalam kondisi seperti sekarang
ini. Tetapi, reaksi setelah peristiwa Juli secara dramatis mempengaruhi
keseimbangan kekuatan di dalam kelas pekerja. Para pemimpin reformis duduk di
bangku kepemimpinan soviet-soviet dengan sangat kuatir, dan pada saat yang sama
secara efektif menyokong kontra-revolusi dan mempersiapkan kondisi bagi perang
sipil.
Bolshevik mulai pulih. Kekuatan
kontra-revolusi ternyata lebih lemah dari yang diperkirakan oleh Lenin.
Kebijakan Kerensky sangat tidak popular, khususnya bagi para tentara yang ada
di garis depan dimana para tentara hanya ingin pulang ke rumah. Suatu usaha
untuk memperkenalkan kembali disiplin tsaris kepada tentara mandeg pada para
perwira, yang sudah dipaksa untuk diam pada bulan-bulan setelah Februari. Para pemimpin Menshevik
dan SR mulai kehilangan kendali mereka terhadap para pekerja dan
tendensi-tendensi kiri; kaum internasionalis Menshevik, Mezhrayontsi dan
Bolshevik, mulai membangun pengaruh di Soviet-soviet. Seiring dengan terbangunnya
kembali partai Bolshevik, menjadi jelas bahwa represi sebelumnya tidak
menghancurkan partai Bolshevik. Sebaliknya, partai Bolshevik mulai berkembang
lagi. Pada Kongres keenam, Trotsky membawa Mezhrayontsi ke dalam Bolshevik dan
ia dipilih sebagai anggota Komite Sentral dengan dukungan penuh dari Lenin.
Hari-hari masihlah sangat sulit, kantor-kantor dan dokumen-dokumen yang
dihancurkan oleh kaum reaksioner mengakibatkan disorganisasi sementara. Pravda
hanya dapat memulai kembali publikasinya pada awal bulan Agustus. Lenin mencoba
mempersiapkan Komite Sentral untuk menghadapi kondisi politik yang baru ini dan
perlunya mempersiapkan pemberontakan bersenjata. Dari 15 anggota Komite Sentral
yang hadir, 10 suara menolak analisanya. Merasa kawatir terhadap sikap Komite
Sentral yang kurang tegas, esok harinya Lenin mengatakan: “Rakyat harus tahu
apa yang yang sebenarnya terjadi sekarang – mereka harus tahu siapa yang sebenarnya
memegang kendali negara…” Kekuasaan berada di tangan segelintir tentara
Cavaignacs (Kerensky, beberapa jenderal, para perwira, dll), yang didukung oleh
kelas borjuis yang dipimpin oleh partai Cadet, dan oleh seluruh kaum monarki,
yang beraksi lewat selebaran-selebaran milik Black Hundreds”.
C.
Analisis Perbandingan
Revolusi
Perancis lebih terfokus pada ajarannya Nicolo
Machiavelli, sehingga dengan ajarannya
itu dapat mempengaruhi dampak yang negatif dan sangat mempengaruhi jalannya
pemerintahan negara tersebut. Dan pada akhirnya raja-raja yang banyak menganut
ajarannya tersebut dapat melatarbelakangi:
1.
Raja
bertindak sewenang-wenang karena tidak didasarkan pada undang-undang yang berlaku. Seperti halnya yang dilakukan oleh raja Louise
XIV : L'etat c'est moi, yang artinya Negara
adalah saya.
2.
Ketidakstabilan
dan diskriminasi hak, golongan bangsawan dan kaum rohaniwan memiliki hak-hak istimewa, seperti memungut
pajak, tidak dikenai pajak, dan memiliki tanah. Sebaliknya rakyat kecil malah
diberati pajak.
3.
Keadaaan
keuangan kerajaan buruk-Madame de Pampoure dan Maria Antoinette (Ratu defisit)
Dan
juga dalam revolusi Perancis banyak tokoh-tokoh penentang absolutisme,
diantaranya:
1.
John
Locke (1632-1704) seorang filsuf Inggris yang menganjurkan adanya undang-undang
(konstitusi) dalam suatu kerajaan dan berpendapat bahwa manusia memiliki
hak-hak sejak lahir seperti hak kemerdekaan, hak memilih, hak untuk memiliki
dan sebagainya.
2. Montesquieu (1689-1755)- Seorang
filsuf berkebangsaan Perancis dalam bukunya L’Esprit des Lois (1748) (The
Spirit of The Law) menyatakan bahwa suatu negara yang ideal adalah yang
kekuasaannya dibagi atas tiga kekuasaan,
diantaranya: Pertama,
Legislatif
(pembuat Undang-Undang), Kedua,
Eksekutif (pelaksana Undang-Undang),
dan Ketiga, Yudikatif
(mengadili setiap pelanggar undang-undang).
Ketiga
hal tersebut sering disebut dengan ‘Trias Politica’.
3.
Jean
jacques Rousseau (1712-1778), Seorang
filsuf Perancis dalam bukunya yang berjudul Du Contract Social (Perjanjian
Masyarakat), mengatakan bahwa manusia sejak lahir adalah sama dan merdeka. Oleh
karena itu ian menganjurkan sistem pemerintahan demokrasi atau kedaulatan
rakyat dengan semboyan ” dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.
4.
Voltaire,
mengajarkan usaha-usaha menentang dominasi gereja.
Sangatlah
jauh perbedaan revolusi Perancis dan revolusi Rusia. Terjadinya revolusi Perancis
disebabkan adanya kerajaan dan pemerintahan yang absolut dan keduanya tidak
saling mendukung. Dengan demikian, memberikan dampak negatif terhadap
kesejahteraan rakyat. Dan selain itu juga dampak
revolusi Prancis, antara lain:
1.
Bidang
politik, Menyadarkan rakyat
menuntut kebebasan, menentang kekuasaan asing, memunculkan
semangat nasionalisme, dan keinginan
membentuk negara berkedaulatan
rakyat.
2.
Bidang
Ekonomi, Penghapusan hak
istimewa bangsawan dan pendeta. Rakyat berhak memiliki tanah dan hanya
membayar pajak pada negara.
3.
Bidang
sosial, Muncul golongan buruh,
petani, kaum kapitalis.
Berbeda
dengan revolusi Rusia, pertarungan antar partai dalam hal perebutan kekuasaan,
dengan cara melibatkan seluruh masyarakat, baik masyarakat klas bawah ataupun
masyarakat klas atas. Kaum buruh dan pekerja pun terlibat di dalamnya. Sehingga
dengan demikian, revolusi Rusia akan semakin keras dan kuat apabila musuh dari
partai tersebut jauh lebih keras dan kuat. Di
Rusia tidak terdapat Revolusi borjuis seperti yang terjadi di negara-negara
Eropa Barat, dimana aturan-aturan monarki digantikan aturan yang dibuat oleh
parlemen yang dipilih. Adanya parlemen ini merefleksikan pertumbuhan kekuatan
ekonomi di bidang politik, dan mereka (borjuis) menjadi klas penguasa
yang baru. Borjuasi Rusia secara ekonomis sangat lemah, dan secara politis
mereka takut untuk bekerja sama dengan klas buruh dan tani dalam revolusi
borjuis.
DAFTAR
PUSTAKA
Terry McPartlan, “Russian Revolution – From July to
September: Revolution and Counter Revolution “, 27 Agustus 2007
Trotsky,
Terjemahan “Sejarah Revolusi Rusia”,
Hal. 2. Jilid 1
Alexander Rabinowitch, “Kembalinya kekuatan Bolshevik:
Revolusi tahun 1917 di Petrograd”, 2005
[1] Trotsky, “Sejarah
Revolusi Rusia”,
Hal. 2. Jilid 1
[2] Alexander Rabinowitch, “Kembalinya kekuatan Bolshevik:
Revolusi tahun 1917 di Petrograd”.
No comments:
Post a Comment