Buku : “Psikolinguistik
Pembelajaran Bahasa Arab”
Pengarang : Prof.
Dr. Abdul Aziz bin Ibrahim el-Ushaili
Penerjemah : H.
M. Jailani Musni, Lc. MA.
Penerbit : Humaniora
Press
Tebal : 153
Halaman
1.
Teori Kognitif dan Hipotesis Universal Dalam Pemerolehan Bahasa
Menurut Noam Chomsky, bahasa adalah sistem kaidah yang sangat dalam
dan rumit. Dengan kedalaman dan kerumitannya itu, bahasa mengajak seseorang
untuk memahami kalimat-kalimat dalam jumlah yang tidak terbatas, walau pun
belum pernah ia mendengar atau menggunakan kalimat itu aebelumnya. Sedangkan
dalam grammar atau tata bahasa-dalam metode ini-bukanlah mempelajari sekelompok
contoh-contoh kalimat dari suatu bahasa. Grammar merupakan sistem yang
berdiri sendiri di dalam akal si penutur bahasa yang diperolehnya semasa kecil.
Dalam hal ini, fungsi teori bahasa adalah menyingkap tentang sistem ini yang
dinamakannya kompetensi bahasa, lawan dari performansi bahasa.
Pandangan Chomsky ini tidak berarti hanya menolak karakteristik
bahasa dan cara menganalisis kaum strukturis dalam hal penafsiran bahasa.
Tetapi, Chomsky juga menolak semua teori dan pandangan yang berhubungan dengan
teori structural. Mereka menolak semua teori yang digunakan untuk
melihat karakteristik bahasa, metode analisis yang digunakan, penafsiran cara
pemerolehannya, termasuk cara mempelajari dan mengajarkannya.
Pembicaraan tentang hipotesis universal dalam pemerolehan bahasa (the
universal hypothesis in language acquisition)-bahasa ibu atau bahasa
kedua-sebenarnya adalah pembicaraan tentang faktor-faktor internal, seperti
factor kodrati atau bawaan lahir, factor kognitif, dan factor-faktor lainnya,
lawan dari faktor-faktor eksternal, seperti input bahasa. Para pendukung
hipotesis ini memandang bahwa input bahasa, baik sendirian maupun didukung oleh
faktor-faktor kognitif nonlinguistic-tidak akan cukup untukl menafsirkan
pemerolehan bahasa. Mereka juga menegaskan peranan utama bagi pembawaan bahasa
(fitrah lughawiah) dan kaiidah universal.
Berdasarkan fakta-fakta ini, Chomsky berkesimpulan bahwa harus ada
dasar-dasar atau asas-asas kognisi bahasa yang mengontrol pemerolehan bahasa
ini. Dengan begitu, pemerolehan bahasa akan berjalan dengan baik dan teratur,
yang tidak diperlukan oleh manusia, tetapi hanya dalam batas minimal dari input
bahasa dan dalam batas kecerdasan yang minimal pula. Asas-asas ini-seperti yang
Chomsky katakana-hendaknya universal; artinya sesuatu yang umum bagi semua
orang atau semua bangsa di dunia. Chomsky menambahkan bahwa penutur
bahasa-dengan bantuan kaidah universal ini, dan dengan jumlah input bahasa yang
terbatas-akan mampu membuat kalimat bahasa itu dalam jumlah yang tidak
terbatas. Ia juga dapat menentukan benar salahnya kalimat tersebut. Chomsky
tidak saja menekankan pentingnya hubungan antara kaidah-universal dan
pemerolehan bahasa ibu tetapi ia juga menganggap sangat penting. Alasannya,
itulah salah satunya solusi terhadap apa yang ia namakan sebagai problematika-logika
(logical problem) dalam pemerolehan bahasa.
Masalah logical problem ini dijelaskan oleh penganut aliran
kognitif. Anak dengan sendirinya akan sampai pada kaidah bahasanya, tanpa
memerlukan orang yang dapat mengajarkannyatentang mana kaidah yang benar dan
salah. Hal ini berkaitan dengan masalah lain yang hampir semua penganut aliran
kognitif-kodrati menyepakatinya. Masalah yang dimaksud adalah bahwa input
bahasa yang anak-anak dapatkan pada fase pemerolehan bahasa tidak bisa menutupi
semua unsur bahasa. Jika demikian halnya, faktor lain yang harus ada yang
dengannya akan menghalangi anak untuk jatuh pada hipotesis-hipotesis yang salah
sekitar bahasa. Chomsky memandang bahwa factor ini adalah sesuatu yang ada di dalam
diri anak tersebut. Factor itulah yang membimbingnya untuk membuat kaidah
bahasa, dan menjauhkannya dari hipotesis-hipotesis yang salah. Factor itu pula
yang akan menjaganya dari hal-hal yang menjadikannya berlaku serampangan dalam
mencapai kaidah itu. Factor yang dimaksud, menurut Chomsky adalah kodrat (fitrah) bahasa. Inilah
factor yang mengontrol kaidah universal tersebut kepada diri anak dengan
perantaraan kotak ilusi hitam. Di duga keberadaan kotak ini ada di otak
manusia, yang ia namakan instrument pemerolehan bahasa”.
Sistem kaidah tak bertanda (unmarked rules). Para linguis
mendefinisikan kaidah-tak-bertanda ini sebagai “kaidah alami atau
universal yang sederhana atau tidak sulit” dan mayoritas bahasa di dunia
memiliki kesamaan dengannya. Kaidah ini menurut pendirinya, diperoleh lebih
awal, dan tidak memerlukan input bahasa, kecuali dalam batas minimal. Bahkan
anak-anak pun tidak memerlukan orang yang membimbingnya untuk menunjukkan
keberadaannya didalam bahasa. Adapun kaidah-bertanda didefinisikan sebagai
“kaidah yang sulit, dan bukan alami, atau universal”, yang tidak ada di dalam
mayoritas bahasa di dunia, tetapi hanya pada bahasa tertentu. Para penganut
pendapat ini telah memperkirakan bahwa kaidah ini sulit diperoleh, bahkan ia
tidak bisa diperoleh, kecuali pada fase terakhir dari usia anak-anak, setelah
mereka memiliki input bahasa (kosa kata) dalam jumlah yang banyak; dan setelah
ia mengetahui kaidah tersebut secara berturut-turut dan langsung pada bahasa
yang diperolehnya.
2.
Teori
Kognitif dan Metode Pengajaran Bahasa Asing
Istilah teori kognitif sebenarnya tidak terbatas pada teori-teori
kognitif psikologi, tetapi menyeluruh, dan juga mencakup semua teori bahasa
modern. Keseluruhan metode ilmu bahasa (linguistik) berubah secara mendasar
sejak akhir tahun 1950-an di abad 20 yang lewat, yakni sejak munculnya Yoseph
Greenberg, Chomsky, Baker Bunker dan yang lainnya dari ahli bahasa yang
beraliran psikologi, peduli terhadap studi bahasa sebagai fenomena khusus bagi
manusia, dan kemampuan batin yang ia bawa sejak lahir, bukan karena unsur-unsur
dan bentuk structural serta tingkah laku yang di dapat dengan jalan meniru dan
mengikuti. Karena itu bahasan tentang kompetensi bahasa serta strukturnya bagi
penutur bahasa tersebut atau pembelajar bahasa, serta masa-masa pembentukannya,
adalah lebih penting daripada bahasan tentang struktur bahasa itu.
Sementara itu, teori kognitif termasuk teori
generatif-transformasi-telah memberikan hasil yang tiada bandingnya, karena ia
mengingatkan kita terhadap masalah-masalah penting dan mendasar seputar
karakteristik bahasa, metode analisisnya, dan metode pemerolehannya. Teori
generatif-transformasi ini juga meragukan hasil metode-metode yang di dasarkan
pada asas tingkah laku struktural. Teori generatif-transformasi menyerang
prinsip dasar teori. Teori inni menyatakan bahwa belajar itu terlaksana dengan
jalan stimulus-responss-conditioning (pembiasaan), pengulangan dan reinforcement
(penguat). Teori ini, sebaliknya menolak bahwa pembelajaran bahasa itu hanya
pembentukan kebiasaan tingkah laku. Ia juga menolak pemikiran bahwa manusia
dilahirkan dengan keadaan akal bagaikan kertas putih, dan lingkunganlah yang
mempengaruhinya. Sebagai gantinya, teori generatif-transformasi mengajak untuk
melihat bahasa sebagai fenomena khusus bagi manusia, dan kemampuan akalnya yang
luar biasa itu. Bahasa itu diperoleh dengan bakat atau kemampuan bawaan (isti’dat
fithri). Pemerolehan bahasa itu juga ditentukan oleh kaidah-kaidah
universal. Dalam hal ini, manusia memiliki kesamaan padanya, sekalipun berbeda
bahasa dan budayanya.
Metode baru ini mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap
metode-metode pembelajaran bahasa. Tetapi pengaruh tersebut tidak langsung dan
tidak satu arah, seperti halnya dua metode terdahulu. Bahkan, metode ini hanya
tampak dalam bentuk kaidah dan konsep dasar bahasa dan psikologi, sebaliknya,
ia menyalahi kaidah dan konsep-konsep dasar teori behaviorisme. Agaknya, factor
penyebabnya adalah karena para penganut aliran kognitif ini-secara umum-dan
penganut aliran generatif-transformasi-secara khusus-belum bersemangat untuk
mempraktikkan teori-teori dan hasil kajiannya itu terhadap pemerolehan dan
pembelajaran bahasa asing.
Pandangan psikologi koognitif ini terhadap belajar sepakat dengan
pandangan para penganut aliran teori kognitif-generatif-transformasi. Mereka
melihat bahwa bahasa adalah tingkah laku yang berdasarkan kaidah (rule-governed
behavior), mereka juga tunduk kepada kaidah universal. Berdasarkan
pengertian kognitif dalam pemerolehan bahasa ini, dan pandangan fungsional
bahasa menurut para penganut aliran
kognitif; trend pembelajaran bahasa asingmendapatkan bentuknya sendiri sebagai
metode pembelajaran bahasa yang dikenal dengan nama pendekatan kognisi (cognitive
approach). Pendekatan ini bertujuan untuk membentuk kompetensi bahasa
dengan benar terhadap anak didik. Pendekatan ini menyerupai pembentukan
kompetensi penutur asli dari segi kemampuannya untuk memahami kaidah dengan
pemahaman yang menjadikannya mampu membuat frasa-frasa dan kalimat-kalimat yang
jumlahnya tak terbatas. Frasa dan kalimat itu belum pernah ia dengar
sebelumnya, dan tidak pernah pula ia melatihnya agar dengannya ia mampu
berkomunikasi dengan baik secara alami.
Para penganut pendekatan atau metode ini berpendapat bahwa tujuan
ini tidak mungkin terlaksana kalau belajar itu tidak memiliki makna bagi siswa.
Padahal, pembelajar harus memiliki fungsi atau makna, sebagai pengganti dari
menghafal bentuk-bentuk dan acuan-acuan bahasa (frasa atau kalimat yang disusun
sedemikian rupa untuk dijadikan sebagai acuan dalam menyusun kalimat, pent.)
dan mengulang-ulangnya. Tetapi, untuk mewujudkan syarat ini, syarat-syarat
lainnya harus tercukupinya, antara lain: 1) belajar bahasa hendaknya mencakup
empat kemahiran atau keahlian (mendengar, mengucap, membaca, dan menulis, pent.);
2) memperhatikan perbedaan kemampuan intelegensi di antara siswa; karena setiap
pembelajar memiliki kemampuan yang berbeda-beda antara satu dan lainnya.
Pendekatan kognitif tidak terikat dengan pola tertentu dalam
pembelajaran bahasa, tetapi harus mengembangkan setiap metode atau media yang
baik untuk menyampaikan pengetahuan atau memahami sebuah kaidah. Karena itu,
guru bisa saja berpendapat bahwa menyimpulkan suatu pengertian ataui kaidah
(metode deduktif) adalah metode yang berhasil dalam interaksi dengan tipe
pembelajar dan dalam kondisi tertentu. Guru juga bisa berpendapat bahwa metode
yang paling utama adalah metode induktif terhadap tipe pembelajar dan kondisi
yang lain pula.
Penamaan metode kognitif (cognitive method) oleh sebagian
peneliti, sesungguhnya, adalah penamaan yang kurang cermat, kecuali yang mereka
maksud metode tersebut adalah mengumkan lafal kulli (umum) atas juz’I
(bagian-bagian). Sebenarnya, metode ini termasuk kedalam himpunan beberapa
metode, antara lain; metode penyelesaian dengan symbol kognitif (metode
pemahaman), atau metode belajar kognitif (cognitive code learning).
Ini adalah metode yang dikenal pada awal revolusi terhadap metode aural-oral
(mendengar dan mengucap), tetapi masih belum berbentuk metode yang terpadu
dan sempurna. Meskipun Chomsky tidak mengklaim bahwa pandangan dan teorinya itu
mempunyai hubungan langsung dengan pengajaran bahasa asing, tetapi ia menjadi
awal bagi era baru. Didalamnya ada kemandirian yang sebenarnya bagi teori-teori
pengajaran bahasa asing. Pendapatnya ini berpengaruh kuat terhadap bidang
bahasa. Bahkan ia berhasil mengubah diri menjadi topic dan masalah hangat yang
dibahas oleh peneliti,.
Hymes berpendapat bahwa pengertian kompetensi menurut Chomsky
adalah penegrtian yang tidak sempurna. Alasannya, pengertian itu tidak mencakup
kompetensi bahasa (linguistic competensi). Ia juga memisahkan bahasa
dari masyarakat pengguna bahasa itu sendiri. Hymes mengakui adanya kompetensi
bahasa ini, tetapi ia menambahnya dengan kompetensi lain yang ia namakan
kompetensi komunikasi (communicative competence). Kompetensi
bahasa-menurut Hymes-adalah kaidah bahasa; sedangkan kompetensi komukasi adalah
upaya mengetahui metode-metode dan kaidah komukasi.
Istilah kompetensi ini semakin berkembang di kalangan para ahli
bahasa menjadi empat bagian:
1.
Kompetensi
tata bahasa (grammatical competence)-kemampuan untuk mengetahui
kaidaha-kaidah bahasa: fonetik, morfologi, sintaksis, dan semantik; serta
kemampuan mengetahui kosa kata bahasa.
2.
Kompetensi
komukasi (discourse competence)-kemampuan membentuk pembicaraan yang
mempunyai makna, baik lisan maupun tulisan secara gradual-berangsur-angsur, bersambung
dan saling terkait
3.
Kompetensi
bahasa berhubungan dengan sosial kemasyarakatan (sosiolinguistic competence)-kemampuan
mengetahui kaidah dan budaya masyarakat dalam komunikasi bahasa.
4.
Kemampuan
strategi (Strategic competence)-kemampuan membuat dan menerapkanmetode
dan media, baik verbal maupun non-verbal yang membantu penutur ketika
mendapatkan kesulitan dalam menyampaikan pesan kepada penerima pesan.
Hasil dari kajian
kompetensi komunikasi-yang membedakan kompetensi komunikasi dan kompetensi
bahasa; dan membaginya menjadi empat kompetensi yang telah disebutkan
tadi-terbentuklah beberapa metode kognitif. Metode ini berpandangan bahwa para
siswa hendaknya diajak untuk berpikir dan pentingnya peranan berpikir dalam
aktifitas pembelajaran. Metode ini juga menghimbau para guru agar dalam
mengajakan bahasa hendaknya berangkat dari komunikasi fungsional.
No comments:
Post a Comment