KHUTBAH JUM’AT BULAN SHAFAR
TEMA KONTROFERSI MEMBANGUN JIWA VERSUS
GEBYAR IMING-IMING DUNIA
TEMA KONTROFERSI MEMBANGUN JIWA VERSUS
GEBYAR IMING-IMING DUNIA
الحمد لله. الحمد لله الذى
علم الموجود بر حمته. وأفا ض على كل موجـود سـجال نعمـته. وعـم ا لأ نام
ببحـر جـوده وكرامه. سبحان لا تحصى ثناء عليه . ان ا لا مر كله منه
واليه . احمده سبحانه وتعالى وأشكره . وأتوب اليه وأستغفره . من جميع الذنوب
والمآثم . واشهد ان لا اله إ لا الله وحده لا شر يك له. شهادة
من امن با الله وملا ئكته وكـتبه ورسـله . واشـهد أن سيـدنا
محـمدا ورسوله النبي الاواه. اللهـم صل علي سيدنا محــمد وعلى
اله وأصحـابه الطّــيبـين ا لأ خيار. (أما بعد) فيا أيها
الناس . إتّقوا الله بإتيان أوامر الله وا لا نتهآء عن المنكر . وسبحوا الله
تسبيحا كثـيرا بالعشـى ولإبكـار . وميزوا الحق عن الباطل بالعلم والعقل وا
لأ فكار.
HADIRIN SIDANG JUM’AH
RAHIMAKUMULLAH .......
Dengan penuh kesadaran, marilah kita sanjungkan rasa syukur kita kehadirat Illahi Rabby yang telah senantiasa melimpahkan rahmad, karunia, dan nikmatnya yang tiada terhingga, hingga kita tak berkemampuan untuk menghitungnya, dalam rangka membangun “jiwa, hati nurani dan intuisi/ perasaan kita”.
Disamping itu marilah kita pertebal keimanan dan ketaqwaan kita, rasa takut kita kepada Allah Swt. dengan melaksanakan apa yang menjadi perintah-Nya dan mencegah diri dari perkara-perkara mungkar yang menjadi larangan-Nya. Dengan memperbanyak bacaan Tasbih “Subhanallah Wal Hamdulillah Wa Laailaa Haillahaa Illallahu Wallahu Akbar, Laa Haula Walaa Quwwata Illah Billahil ‘Aliyyil ‘Adziim”, kita berharap muncul pencerahan jiwa dari hati nurani kita, sehingga kita dapat membenarkan segala perkara yang “Haq” dan membatalkan perkara yang “Bathil” dengan landasan firman, ilmu pengetahuan dan akal fikiran yang sehat dalam bingkai “Rasionalitas yang benar”.
HADIRIN SIDANG JUM’AH YANG BERBAHAGIA . . . .
“MEMBANGUN JIWA” pada hakekatnya adalah merupakan prioritas yang semestinya kita dahulukan dari pada “MEMBANGUN RAGA” atau “BADAN” kita. Wage Rudolf Supratman dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya menyebutkan ;” Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya !” begitulah antara lain, kita bangsa Indonesia selalu menyanyi. Dalam sudut pandang yang lain, jika kita tengok kembali lima tujuan prinsip dalam pencanangan syari’at Islamiyyah atau yang biasa disebut dengan “Maqaashid Al-Syari’ah Al-Khams” yaitu memelihara dan memberikan perlindungan – dalam arti yang luas terhadap agama, akal, jiwa, nasab, (keturunan) dan harta benda, juga mencerminkan betapa komponen-komponen yang secara bulat berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan lebih mendapat perhatian yang besar.
Namun entah mengapa, dan kapan mulainya, tiba-tiba saja kita dan bangsa Indonesia terkesan hanya mengurusi raga dan melupakan jiwa. Apakah karena terlalu populernya ‘semboyan olah raga’ “Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat” atau karena penekanan pembangunan kita yang terlalu bertumpu pada sektor ekonomi ? mari kita cari jawabannya bersama-sama . . . !
Jika kita mengkalkulasi kesibukan dan aktifitas kita sehari-hari; berapa persenkah jatah untuk dan dalam rangka mengolah jiwa, bila kita bandingkan dengan prosentase bagi membangun dan memanjakan raga-raga kita ? lihatlah super-super market, pasar-pasar swalayan, restoran-restoran yang terus tumbuh dan berkembang dan selalu kita padati demi pemanjaan terhadap raga-raga kita. Saksikanlah pula iklan-iklan yang setiap saat dijejalkan kerumah-rumah kita melalui telivisi, radio, majalah-majalah dan lain sebagainya, mulai dari rokok, segala jenis makanan dan minuman, berbagai jenis pakaian dan perumahan indah, hingga segala macam alat kosmetika dan penyedap bau badan, yang hampir semuanya menina bobokkan kita sehingga kita lupa untuk ngopeni kegersangan jiwa kita.
HADIRIN SIDANG JUM’AH YANG DIMULIAKAN ALLAH . . . .
Dari sinilah terbukti kiranya kebenaran Al-Qur'an yang menyebutkan bahwa “manusia” menurut penciptanya sendiri memang menyenangi kehidupan dunia dan cenderung mengabaikan akhirat. Sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur'an :
Dengan penuh kesadaran, marilah kita sanjungkan rasa syukur kita kehadirat Illahi Rabby yang telah senantiasa melimpahkan rahmad, karunia, dan nikmatnya yang tiada terhingga, hingga kita tak berkemampuan untuk menghitungnya, dalam rangka membangun “jiwa, hati nurani dan intuisi/ perasaan kita”.
Disamping itu marilah kita pertebal keimanan dan ketaqwaan kita, rasa takut kita kepada Allah Swt. dengan melaksanakan apa yang menjadi perintah-Nya dan mencegah diri dari perkara-perkara mungkar yang menjadi larangan-Nya. Dengan memperbanyak bacaan Tasbih “Subhanallah Wal Hamdulillah Wa Laailaa Haillahaa Illallahu Wallahu Akbar, Laa Haula Walaa Quwwata Illah Billahil ‘Aliyyil ‘Adziim”, kita berharap muncul pencerahan jiwa dari hati nurani kita, sehingga kita dapat membenarkan segala perkara yang “Haq” dan membatalkan perkara yang “Bathil” dengan landasan firman, ilmu pengetahuan dan akal fikiran yang sehat dalam bingkai “Rasionalitas yang benar”.
HADIRIN SIDANG JUM’AH YANG BERBAHAGIA . . . .
“MEMBANGUN JIWA” pada hakekatnya adalah merupakan prioritas yang semestinya kita dahulukan dari pada “MEMBANGUN RAGA” atau “BADAN” kita. Wage Rudolf Supratman dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya menyebutkan ;” Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya !” begitulah antara lain, kita bangsa Indonesia selalu menyanyi. Dalam sudut pandang yang lain, jika kita tengok kembali lima tujuan prinsip dalam pencanangan syari’at Islamiyyah atau yang biasa disebut dengan “Maqaashid Al-Syari’ah Al-Khams” yaitu memelihara dan memberikan perlindungan – dalam arti yang luas terhadap agama, akal, jiwa, nasab, (keturunan) dan harta benda, juga mencerminkan betapa komponen-komponen yang secara bulat berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan lebih mendapat perhatian yang besar.
Namun entah mengapa, dan kapan mulainya, tiba-tiba saja kita dan bangsa Indonesia terkesan hanya mengurusi raga dan melupakan jiwa. Apakah karena terlalu populernya ‘semboyan olah raga’ “Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat” atau karena penekanan pembangunan kita yang terlalu bertumpu pada sektor ekonomi ? mari kita cari jawabannya bersama-sama . . . !
Jika kita mengkalkulasi kesibukan dan aktifitas kita sehari-hari; berapa persenkah jatah untuk dan dalam rangka mengolah jiwa, bila kita bandingkan dengan prosentase bagi membangun dan memanjakan raga-raga kita ? lihatlah super-super market, pasar-pasar swalayan, restoran-restoran yang terus tumbuh dan berkembang dan selalu kita padati demi pemanjaan terhadap raga-raga kita. Saksikanlah pula iklan-iklan yang setiap saat dijejalkan kerumah-rumah kita melalui telivisi, radio, majalah-majalah dan lain sebagainya, mulai dari rokok, segala jenis makanan dan minuman, berbagai jenis pakaian dan perumahan indah, hingga segala macam alat kosmetika dan penyedap bau badan, yang hampir semuanya menina bobokkan kita sehingga kita lupa untuk ngopeni kegersangan jiwa kita.
HADIRIN SIDANG JUM’AH YANG DIMULIAKAN ALLAH . . . .
Dari sinilah terbukti kiranya kebenaran Al-Qur'an yang menyebutkan bahwa “manusia” menurut penciptanya sendiri memang menyenangi kehidupan dunia dan cenderung mengabaikan akhirat. Sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur'an :
كلا بل تحبون العاجلة .
وتذرون ا لأ خرة
Artinya : “Sekali-kali
janganlah demikian, Sebanarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia,
dan meninggalkan kehidupan akherat” (QS. Al-Qiyamah : 20 dan 21)
Bahkan manusia, seperti juga difirmankan penciptanya Allah Swt. terpedaya dan menganggap baik atas segala kesenangan mereka sendiri. sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur'an surat Ali Imran ayat 14 :
Bahkan manusia, seperti juga difirmankan penciptanya Allah Swt. terpedaya dan menganggap baik atas segala kesenangan mereka sendiri. sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur'an surat Ali Imran ayat 14 :
ز ين للناس حب الشهوات من
النسآء والبنين والقناطيرالمقنطرة من الذهب والفضة والخيل المسومة وا لأ نعام
والحرث. ذلك متاع الحياة الدنيا . والله عنده حسن المئاب.
Artinya : “Dijadikan indah
pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diinginkannya yaitu :
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, (mas picis
– rojobrono), kuda atau mobil pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan disisi Allahlah tempat kembali
yang baik yakni (surga)”.
Semua sifat-sifat manusia ini, ditambah lagi dengan “perangai-perangai dasar” manusia seperti kecenderungan mereka untuk berlebih-lebihan, suka segera enak, egois, pelupa dan lain sebagainya membuat kecenderungan mereka untuk semata-mata menikmati kesenangan hidup di dunia menjadi semakin total, nyata dan mudah menjadi keniscayaan. Dan oleh karenanya, tidaklah heran jika kemudian yang terjadi adalah; budaya-budaya semacam matrealisme, konsumerisme, hedonisme dan lain sebagainya laku keras dan mendapat antusias lebih dikalangan makhluk yang bernama “manusia” ini.
Faham-faham inilah, yang percaya atau tidak menjadikan manusia yang “Ahsani taqwim” ini menjadi lebih mirip hayawan ternak bahkan lebih rendah daripadanya. Naudzubillahimindzalika.... Sehingga tokoh-tokoh semacam Fir’aun cs, Qorun, Abu Jahal cs dan semisalnya menjadi idola-idola mereka. Fir’aun yang sampai mengaku menjadi Tuhan dan membunuhi rakyatnya, qorun yang juga memproklamirkan diri sebagai Tuhan karena kekayaannya yang dapat menghidupi pengikutnya, Abu Jahal, Abu Lahab dan kaum jahiliyah yang bangga terhadap berhala dan harta benda, kaum ‘Ad, Tsamud kaum Sodom dan sebagainya yang angkuh dan tak tahu malu, mereka semua seenaknya sendiri merampas hak orang lain, tega membunuh saudara sendiri, yang sudah terhormat masih juga nyolong, yang sudah kaya malah semakin serakah, yang dengan bangga membabati dan mengeruk kekayaan negara, suami yang tak risih menjual istrinya, ibu tega menjual diri dan anaknya, mereka yang senang menjilat yang kuat dan menginjak yang lemah dan seterusnya dan sebagainya, itu semua tidak lain adalah karena akibat dan gara-gara mengikuti faham-faham di atas, dan memburu kesenangan-kesenangan duniawi.
Ketika kehidupan masyarakat kita sudah sedemikian adanya, maka patutlah kiranya kita menyadari bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan belaka dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak. Dan kitapun tahu bahwa kehidupan dunia ini tidaklah lain hanyalah kesenangan yang menipu, dan diakherat nanti ada adzab yang keras.
HADIRIN SIDANG JUM’AH RAHIMUKUMULLAH. . . .
Bagi umat Rasulillah Saw yang mengimani hari akhir dan memandang dunia ini hanyalah “Mazratul Akhirah” (tempat menanam kebaikan akherat), haruslah menyadari bahwa kecenderungan dari dalam diri dan gebyar iming-iming dari luar yang menunjangnya adalah merupakan adalah fitnah, ujian dan cobaan.
Tinggal kita kuat menghadapi cobaan itu atau tidak, bisa lulus ujian atau tidak, itu semua tentunya sangat tergantung pada sejauhmana kesanggupan dan kemampuan kita untuk mengendalikan faktor-faktor kecenderungan dan kuatnya godaan dari “dalam” atau pengaruh kemilau dari “luar”. Kunci suksesnya adalah terletak pada keberhasilan kita dalam melakukan “olah jiwa” secara terpadu dan kompatibel atau harmonis. Yaach . . . paling tidak kita dapat mengimbangi berbagai kecenderungan tersebut dengan “Hasanah fil akherat”.
Sehubungan dengan hal itu, ketika kita mengulang-ulang do’a paten “sapu jagad” kita :
Semua sifat-sifat manusia ini, ditambah lagi dengan “perangai-perangai dasar” manusia seperti kecenderungan mereka untuk berlebih-lebihan, suka segera enak, egois, pelupa dan lain sebagainya membuat kecenderungan mereka untuk semata-mata menikmati kesenangan hidup di dunia menjadi semakin total, nyata dan mudah menjadi keniscayaan. Dan oleh karenanya, tidaklah heran jika kemudian yang terjadi adalah; budaya-budaya semacam matrealisme, konsumerisme, hedonisme dan lain sebagainya laku keras dan mendapat antusias lebih dikalangan makhluk yang bernama “manusia” ini.
Faham-faham inilah, yang percaya atau tidak menjadikan manusia yang “Ahsani taqwim” ini menjadi lebih mirip hayawan ternak bahkan lebih rendah daripadanya. Naudzubillahimindzalika.... Sehingga tokoh-tokoh semacam Fir’aun cs, Qorun, Abu Jahal cs dan semisalnya menjadi idola-idola mereka. Fir’aun yang sampai mengaku menjadi Tuhan dan membunuhi rakyatnya, qorun yang juga memproklamirkan diri sebagai Tuhan karena kekayaannya yang dapat menghidupi pengikutnya, Abu Jahal, Abu Lahab dan kaum jahiliyah yang bangga terhadap berhala dan harta benda, kaum ‘Ad, Tsamud kaum Sodom dan sebagainya yang angkuh dan tak tahu malu, mereka semua seenaknya sendiri merampas hak orang lain, tega membunuh saudara sendiri, yang sudah terhormat masih juga nyolong, yang sudah kaya malah semakin serakah, yang dengan bangga membabati dan mengeruk kekayaan negara, suami yang tak risih menjual istrinya, ibu tega menjual diri dan anaknya, mereka yang senang menjilat yang kuat dan menginjak yang lemah dan seterusnya dan sebagainya, itu semua tidak lain adalah karena akibat dan gara-gara mengikuti faham-faham di atas, dan memburu kesenangan-kesenangan duniawi.
Ketika kehidupan masyarakat kita sudah sedemikian adanya, maka patutlah kiranya kita menyadari bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan belaka dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak. Dan kitapun tahu bahwa kehidupan dunia ini tidaklah lain hanyalah kesenangan yang menipu, dan diakherat nanti ada adzab yang keras.
HADIRIN SIDANG JUM’AH RAHIMUKUMULLAH. . . .
Bagi umat Rasulillah Saw yang mengimani hari akhir dan memandang dunia ini hanyalah “Mazratul Akhirah” (tempat menanam kebaikan akherat), haruslah menyadari bahwa kecenderungan dari dalam diri dan gebyar iming-iming dari luar yang menunjangnya adalah merupakan adalah fitnah, ujian dan cobaan.
Tinggal kita kuat menghadapi cobaan itu atau tidak, bisa lulus ujian atau tidak, itu semua tentunya sangat tergantung pada sejauhmana kesanggupan dan kemampuan kita untuk mengendalikan faktor-faktor kecenderungan dan kuatnya godaan dari “dalam” atau pengaruh kemilau dari “luar”. Kunci suksesnya adalah terletak pada keberhasilan kita dalam melakukan “olah jiwa” secara terpadu dan kompatibel atau harmonis. Yaach . . . paling tidak kita dapat mengimbangi berbagai kecenderungan tersebut dengan “Hasanah fil akherat”.
Sehubungan dengan hal itu, ketika kita mengulang-ulang do’a paten “sapu jagad” kita :
ربنا اتنافى الدنيا حسنة و
فى ا لأ خرة حسنة وقنا عذاب النار
Kitapun sadar, bahwa
sesungguhnya kita sedang memohon kesenangan di dunia dan kesenangan diakherat.
Tetapi kitapun harus tahu, bahwa sesungguhnya “Hasanah fid dunya” yang sering
kita artikan dengan bahagia, sejahtera dan senang sesenang-senangnya di dunia,
belum tentu merupakan sarana untuk memperoleh “Hasanah fil akhirah”, sebab,
tentunya tidak bisa disebut “Hasanah fid dunya” jika mengakibatkan “Sayyi’ah
fil akherat” kesengsaraan dihari kemudian. Jadi do’a ampuh itu, paling tidak
menurut saya, justru untuk menangkal kecenderungan “semata-mata” menikmati
kesenangan hidup di dunia. Walllahu A’lam bis shawab . .. . .Mudah-udahan kita
senantiasa diberi taufiq, dan hidayah oleh Alloh SWT., sehingga kita
berkemampuan untuk menangkal segala godaan baik yang muncul dari dalam diri
kita sendiri maupun dari luar. Amin-Amin yaa rabbal ‘Alamin.
والله سبحا نه وتعالى يقول
وبقول يهتد المهتدون . واذا قر ئ القر آن . فاستمــــــعوا له وأنصـــــــتو
ا لعلكــــم ترحمــون . أعـوذ بالله من الشّيطان الر جيم . بسم الله الرحمن الرحيم من عمل صالحا فلنفسه ومن اسآء
فعليها فماربك بضلام للعبيد. بارك الله لى ولكم فى القرأن العظيم ونفعنى
وايكم بما فيه من الايات والذكر الحكيم وتقبل منى ومنكم تلاوته انه هو السميع
العليم. واستغفرواالله العظيم لى ولكم فيافوز المستغفرين ويانجاة التائبــين.
Muslim Rahmatan Lil 'Alamin
Oleh Dr. KH. Ahmad Kusyairi Suhail, MA
Oleh Dr. KH. Ahmad Kusyairi Suhail, MA
الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَنْشَأَ وَبَرَى، وَخَلَقَ اْلمَاءَ وَالثَّرَى، وَأبْدَعَ كُلَّ شَيءٍ وَذَرَا، أَحْمَدُهُ عَلىَ نِعَمِهِ الَّتيِلاَ تَزَالُ تَتْرَى. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ الَّذِيْ لاَ يَغِيْبُ عَنْ بَصَرِهِ صَغِيْرُ النَّمْلِ فيِ اللَّيْلِ إِذَا سَرَى،وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلِهِ اْلمُصْطَفَى. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اْلمَبْعُوْثُ فيِ أُمِّاْلقُرَى، وَعَلىَ آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ اْنتَشَرَ فَضْلُهُمْ فيِ الْوَرَى، أَمَّا بَعْدُ. فَأُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَىاللهِ فَقَدْ فَازَ اْلمُتَّقُوْنَ .
Jamaah shalat Jum'at rahimakumullah.
Marilah kita senantiasa bertakwa dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Swt. Sebab, hanya dengan takwa kita akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Salah satu faktor penyebab keberhasilan dakwah dan perjuangan Rasulullah Saw dalam membangun peradaban umat manusia adalah kepribadian beliau yang mempesona dan penuh kharisma serta akhlaknya yang luhur dan mulia. Beliau disenangi oleh semua orang, baik kawan maupun lawan. Sampai-sampai lawanpun menjuluki beliau Al Amin; orang yang sangat dipercaya. Semua orang merasa senang dan damai berada di sisinya atau di majelisnya. Jika beliau pergi, kedatangannya sangatlah dirindukan. Hal ini, karena beliau penebar kasih sayang dan kedamaian. Namun, beliau pun dalam beberapa kesempatan juga bisa tegas, namun bukan keras. Keparipurnaan kepribadian Nabi Muhammad Saw inilah yang membuat beliau –dengan izin Allah- mampu menyelamatkan umat manusia dari beragam bentuk kezhaliman (kegelapan) dalam semua aspek kehidupan menuju cahaya Islam. Sehingga sinar Islam pun memancar ke seluruh penjuru dunia.
Kepribadian seorang muslim yang seharusnya melekat pernah Rasulullah sabdakan dalam hadits berikut :
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ:" قَالُوا
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْإِسْلَامِ أَفْضَلُ؟" قَالَ: « مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ
لِسَانِهِ وَيَدِهِ » (رواه البخاري)
Dari Abu Musa Ra, ia berkata, mereka (para sahabat) bertanya, “Ya Rasulullah, Islam (seperti) apa yang paling afdhal (paling utama)? Beliau Saw menjawab, “Yaitu orang yang orang-orang muslim lainnya selamat dan aman dari (gangguan) lisan dan tangannya” (HR. Bukhari)
Hadits senada dengan hadits di atas, dengan sedikit perbedaan pada redaksi, juga banyak diriwayatkan oleh para ulama hadits lainnya. Di antaranya:
Dari Amr bin Ash Ra, ia berkata: sesungguhnya seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw,
أَيُّ الْمُسْلِمِينَ خَيْرٌ؟ قَالَ: « مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ
لِسَانِهِ وَيَدِهِ »
(رواه مسلم)
"Orang-orang Islam seperti apa yang paling baik? Beliau Saw menjawab, “Yaitu orang yang kaum muslimin lainnya aman dari (gangguan) lisan dan tangannya” (HR. Muslim)
Sedangkan Imam Tirmidzi dalam kitab “Sunan”nya meriwayatkan dengan redaksi tambahan yang makin melengkapi makna yang terkandung di dalamnya, yaitu:
Dari Abu Hurairah Ra, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda,
« الْمُسْلِمُ
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ
النَّاسُ عَلَى دِمَائِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ »(رواه الترمذي و أحمد)
“Orang muslim yang sejati adalah orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari (gangguan) lisan dan tangannya. Dan orang yang mukmin yang sejati adalah orang yang bisa menjaga keamanan (keselamatan) darah dan harta manusia lain” (HR. Tirmidzi dan Imam Ahmad).
Hadirin jamaah sholat jum’at yang dimuliakan Allah
Hadits-hadits Nabi di atas menunjukkan betapa kekerasan, anarkisme dan menebar teror di tengah komunitas muslim bukanlah bagian dari ajaran Islam. Dalam hadits tersebut, Rasulullah Saw menjelaskan bahwamuslim yang sejati adalah orang yang selalu menebar kasih sayang, bukan menebar ketakutan. Selalu hati-hati dan berpikir seribu kali dalam berucap dan berbuat sehingga tak ada ucapan dan perbuatan yang menyakiti dan melukai dan menciderai hati dan fisik orang lain.
Imam Ibnu Hajar ketika menjelaskan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari mengatakan, bahwa Alif dan Lampada lafazh ‘Al Muslim’ adalah memiliki makna sempurna.
Ini berarti bahwa kesempurnaan seorang muslim sangat ditentukan oleh sejauh mana orang-orang di sekelilingnya merasa nyaman, aman dan tenteram dengan keberadaannya. Selalu aktif memberikan kontribusi apa pun; baik ide, pikiran, tenaga, waktu maupun harta benda untuk kebaikan lingkungan sekitarnya. Tutur katanya baik, lembut dan menyejukkan. Perilaku dan tindak dan tanduknya tidak menimbulkan kecurigaan karena akhlak mulia itu transparan dan tidak ada yang perlu ditutup-tutupi. Karena itulah kehidupan Rasulullah Saw bagaikan “Kitab Maftuh”, kitab yang terbuka yang bisa dibaca oleh semua lapisan masyarakat; dewasa maupun anak kecil, laki-laki maupun kaum perempuan.
Hadirin yang berbahagia
Bahkan, dalam hadits riwayat Imam Tirmidzi tadi disebutkan bahwa masalah ini termasuk dalam Qadhaya Imaniyah (diskursus keimanan). Artinya melukai hati dan fisik orang lain dapat menurunkan kualitas keimanan seorang muslim. Menjaga keselamatan jiwa dan keamanan harta orang lain termasuk barometer iman.
Penggunaan redaksi “An Naas” yang berarti manusia, bukan “Al Muslimun” (orang-orang Islam) seperti pada kalimat sebelumnya, menunjukkan bahwa Islam juga sangat menghormati pluralitas. Nabi Saw pun pernah berwasiat kepada Abu Dzar Ra,
« اِتَّقِ
اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا
وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ » (رواه الترمذي و أحمد)
“Bertakwalah kepada Allah dimana saja engkau berada. Ikutilah keburukan dengan kebaikan, niscaya ia (kebaikan) akan menghapusnya. Dan pergauilah manusia dengan akhlak mulia” (HR. Tirmidzi dan Ahmad).
Jadi, menerapkan akhlak mulia dalam bergaul dengan manusia, apa pun etnis, suku dan agama dan kebangsaannya, termasuk bagian dari takwa.
Karenanya perasaan aman, nyaman dan tenteram ini juga hendaknya mencakup komunitas non muslim selama mereka tidak memerangi dan memerangi kita. Semangat inilah yang sesungguhnya juga disuarakan sangat nyaring oleh Al-Quran,
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al Mumtahanah: 8).
Jamaah shalat jum’at rahimakumullah
Dalam konteks ini, maka bisa dimaklumi mengapa para ulama seperti Syekh Dr. Yusuf Al Qardhawi, Syekh Salman bin Fahd Al‘Audah dan lainnya ketika mengkaji masalah Al Amaliyyah Al Istisyhaadiyah (bom syahid), mereka tidak membolehkan penerapan hal ini secara mutlak di semua tempat, dalam semua situasi dan kondisi dengan sasaran semua orang. Mereka hanya membolehkan dengan beberapa syarat, di antaranya:
Pertama, Dilakukan di medan jihad. Artinya negeri yang secara syar’i telah dinyatakan sebagai medan jihad, seperti di Palestina yang dijajah oleh Israel dan lain-lain.
Kedua, Diniatkan semata-mata untuk meninggikan kalimat Allah, bukan mencari sensasi dan popularitas.
Ketiga, Memastikan bahwa apa yang dilakukannya benar-benar dapat melemahkan barisan musuh dalam peperangan itu dan menguatkan maknawiyah (mentalitas) dan kekokohan barisan tentara muslim.
Keempat, Hal itu dilakukan terhadap orang-orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Sebab, dalam tinjauan syari’at Islam kaum kafir itu terbagi dalam beberapa katagori. Ada orang-orang kafir yang Musaalimun(menyerahkan sepenuhnya urusannya kepada pemerintahan Islam). Ada yang Musta’minun (meminta perlindungan keamanan), ada yang Dzimmiyyun dan Mu’aahidun (yang mengadakan kesepakatan perjanjian dengan kaum muslimin). Tidak semua orang kafir boleh dibunuh secara mutlak, bahkan Rasulullah Saw pernah bersabda,
وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِو ٍ عَنْ اَلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ:
« مَنْ
قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ
مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا » (رواه البخاري)
“Barangsiapa membunuh orang kafir yang Mu’aahid (telah mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin), maka ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya wangi surga itu tercium dari jarak perjalanan 40 tahun” (HR. Bukhari).
Kelima, Mendapat izin kedua orang tua.
Mereka mendasarkan hal itu dari banyak dalil, di antaranya hadits tentang anak muda dalam kisah Ashhaabu’l Ukhdud yang diriwayatkan oleh Shuhaib dalam Shahih Muslim dan Musnad Imam Ahmad.
Juga riwayat dalam Tafsir Ath Thabari, dari Abu Ishaq As Subai’i berkata: Aku bertanya kepada Barra’ bin Azib Ra, “Wahai Abu Umarah, bagaimana jika ada seorang dilempar ke kerumunan musuh yang berjumlah seribu orang, sementara dia sendirian [yakni; kemungkinan besar ia akan terbunuh] apakah hal ini termasuk orang yang disinggung Allah Swt dalam ayat,
“.. dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,” (QS. Al Baqarah: 195)
Lalu, Barra’ (sahabat Nabi) menjawab, “Tidak, silahkan ia berperang hingga terbunuh (syahid). Allah Swt berfirman kepada Nabi-Nya Saw,
“Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang).” (QS. An Nisaa’ : 84).
Kaum muslimin rahimakumullah
Sementara dalam kajian Ibnu Katsir, Barra’ bin Azib Ra menjelaskan tentang maksud ayat tersebut adalah tentang sedekah, yakni meninggalkan bersedekah dalam jihad adalah termasuk menjatuhkan dalam kebinasaan (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, vol. I/206).
Karenanya, tidak benar jika apa yang dilakukan oleh pejuang Hamas, misalnya, di Palestina yang meledakkan diri di tengah kerumunan orang Israel itu adalah bom bunuh diri, melainkan itu termasuk bom syahid dan mereka bukanlah teroris seperti yang dituduhkan oleh musuh-musuh Islam yang diamini oleh berbagai media di dunia Islam, tapi Israel lah the real terrorist. Sementara jika hal itu dilakukan di negeri yang mayoritas muslim, tentu tidak bisa dibenarkan. Wallahu a’lam bi’sh showab. Semoga Allah Swt selalu menuntun dan membimbing kita semua di jalan yang benar.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ.
Umat Islam Satu Tubuh
Ahmad Yani, MA
Ahmad Yani, MA
الْحَمْدُ
ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَأَشْكُرُهُ، وَأَسْأَلُهُ
الْمَغْفِرَةَ يَوْمَ الدِّيْنِ.وَأَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَامَحَمَّدًاعَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ.
فَأُوْصِيْكُمْ
وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ تَعَالَى. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ
الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ
مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ
بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Jamaah Jum’at yang berbahagia.
Pada kesempatan yang mulia ini mari sama-sama kita tingkatkan ketakwaan kita. Takwa adalah bekal utama kehidupan bahagia. Kehidupan yang bahagia di Dunia maupun di Akhirat tidak mungkin bisa kita raih tanpa ketakwaan. Karena itu Allah SWT. memerintah kita untuk senantiasa berbekal dengannya.
Pada kesempatan yang mulia ini mari sama-sama kita tingkatkan ketakwaan kita. Takwa adalah bekal utama kehidupan bahagia. Kehidupan yang bahagia di Dunia maupun di Akhirat tidak mungkin bisa kita raih tanpa ketakwaan. Karena itu Allah SWT. memerintah kita untuk senantiasa berbekal dengannya.
وَتَزَوَّدُوا
فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الألْبَابِ
Artinya: Berbekallah kalian, sebaik-baik bekal adalah takwa (kepada Allah SWT.), dan takutlah kalian kepada-Ku wahai orang-orang yang berfikir. (Al-Baqarah: 197).
Jamaah Jumat yang berbahagia.
Perumpamaan Umat Islam sebagaimana digambarkan Rasulullah Saw. bagaikan satu tubuh. Hadits Rasul yang diriwayatkan oleh Nu’man bin Basyir berbunyi:
عَنْ
النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ
وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ
سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى (رَوَاهُ مُسْلِمٌ).
Artinya: “Perumpamaan orang-orang
mukmin dalam berkasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan
merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam”. (HR.
Muslim).
Bila seorang atau sekelompok mukmin menderita kesulitan, maka mukmin yang lain juga seharusnya merasakan itu. Itulah makna ukhuwah sesungguhnya. Islam mendorong Umatnya untuk menerjemahkan ukhuwah dalam kehidupan sehari-hari. Agar mereka dapat merasakan apa yang diderita saudaranya se-agama, untuk selanjutnya memberikan bantuan apapun bentuknya agar meringankan beban dan penderitaan saudaranya itu.
Betapa banyak Kaum Muslimin di penjuru bumi yang masih belum merasakan ketenangan dan ketentraman hidup. Betapa Negara-negara mayoritas Muslim sekarang sedang bergejolak. Di Suriah, sejak mencetusnya revolusi sampai sekarang, sebagaimana dilansir syria-news.com sudah sekitar 6000 orang wafat dalam upaya memperjuangkan kebebasan dan kemuliaan rakyat. Di Yaman, masih menanti-nanti keberhasilan revolusi rakyat di sana. Tunis, Libya dan Mesir meskipun sudah melewati masa-masa ketegangan dengan berpeluanganya terbentuk pemerintahan baru, namun tantangan yang cukup besar bagi Pemerintah selanjutnya, Mampukan mereka membawa rakyat kepada kondisi yang lebih baik? Karena banyak sekali sederet kendala dan tantangan yang harus dipecahkan pada masa-masa peralihan ini. “Apa setelah revolusi?” menjadi pertanyaan besar bagi pemerintahan selanjutnya.
Begitu pula di nesgeri minoritas Muslim. Tidak sedikit Negara yang belum memberikan kebebasan menjalankan agama bagi Muslim yang hidup di sana. Di Prancis, Inggris dan sebagainya. Satu sampel misalnya di Negara Taiwan, bagaimana Muslim di sana belum memiliki eksistensi yang cukup kuat agar mereka dapat menjalankan kewajiban agama secara baik. Menurut beberapa pengaduan buruh migran Indonesia yang bekerja di sana, Pemerintah Taiwan belum memberikan kebebasan penuh bagi muslim untuk menjalankan ibadah agama secara baik. Misalnya dalam menjalankan shalat limawaktu, para pekerja ketika tiba waktu shalat sementara masih pada jam kerja, mereka dilarang untuk mengerjakan shalat, dan seterusnya. Belum lagi bagaimana di Negara-negara minoritas Muslim yang mereka memiliki pandangan negative dan memusuhi Islam, menganggap Muslim yang komitmen sebagai teroris, Islam mengajarkan anarkisme dan terorisme, dan seterusnya. Tentunya masih banyak penduduk Negara kita tercinta Indonesia yang juga sangat membutuhkan pertolongan dan perhatian dari kita semua.
Jamaah Jumat yang berbahagia.
Islam mendorong Umatnya untuk membantu siapa yang membutuhkan. Dan pada hakikatnya menolong orang yang membutuhkan juga berarti bahwa menolong diri sendiri. Ada kaedah dalam bahasa Arab yang berbunyi: aljazaa’ min jinsil ‘amal, bahwa balasan seperti amal yang dilakukan. Karena itu dengan kaedah tersebut kita bisa memahami sabda Rasulullah Saw. dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.:
Bila seorang atau sekelompok mukmin menderita kesulitan, maka mukmin yang lain juga seharusnya merasakan itu. Itulah makna ukhuwah sesungguhnya. Islam mendorong Umatnya untuk menerjemahkan ukhuwah dalam kehidupan sehari-hari. Agar mereka dapat merasakan apa yang diderita saudaranya se-agama, untuk selanjutnya memberikan bantuan apapun bentuknya agar meringankan beban dan penderitaan saudaranya itu.
Betapa banyak Kaum Muslimin di penjuru bumi yang masih belum merasakan ketenangan dan ketentraman hidup. Betapa Negara-negara mayoritas Muslim sekarang sedang bergejolak. Di Suriah, sejak mencetusnya revolusi sampai sekarang, sebagaimana dilansir syria-news.com sudah sekitar 6000 orang wafat dalam upaya memperjuangkan kebebasan dan kemuliaan rakyat. Di Yaman, masih menanti-nanti keberhasilan revolusi rakyat di sana. Tunis, Libya dan Mesir meskipun sudah melewati masa-masa ketegangan dengan berpeluanganya terbentuk pemerintahan baru, namun tantangan yang cukup besar bagi Pemerintah selanjutnya, Mampukan mereka membawa rakyat kepada kondisi yang lebih baik? Karena banyak sekali sederet kendala dan tantangan yang harus dipecahkan pada masa-masa peralihan ini. “Apa setelah revolusi?” menjadi pertanyaan besar bagi pemerintahan selanjutnya.
Begitu pula di nesgeri minoritas Muslim. Tidak sedikit Negara yang belum memberikan kebebasan menjalankan agama bagi Muslim yang hidup di sana. Di Prancis, Inggris dan sebagainya. Satu sampel misalnya di Negara Taiwan, bagaimana Muslim di sana belum memiliki eksistensi yang cukup kuat agar mereka dapat menjalankan kewajiban agama secara baik. Menurut beberapa pengaduan buruh migran Indonesia yang bekerja di sana, Pemerintah Taiwan belum memberikan kebebasan penuh bagi muslim untuk menjalankan ibadah agama secara baik. Misalnya dalam menjalankan shalat limawaktu, para pekerja ketika tiba waktu shalat sementara masih pada jam kerja, mereka dilarang untuk mengerjakan shalat, dan seterusnya. Belum lagi bagaimana di Negara-negara minoritas Muslim yang mereka memiliki pandangan negative dan memusuhi Islam, menganggap Muslim yang komitmen sebagai teroris, Islam mengajarkan anarkisme dan terorisme, dan seterusnya. Tentunya masih banyak penduduk Negara kita tercinta Indonesia yang juga sangat membutuhkan pertolongan dan perhatian dari kita semua.
Jamaah Jumat yang berbahagia.
Islam mendorong Umatnya untuk membantu siapa yang membutuhkan. Dan pada hakikatnya menolong orang yang membutuhkan juga berarti bahwa menolong diri sendiri. Ada kaedah dalam bahasa Arab yang berbunyi: aljazaa’ min jinsil ‘amal, bahwa balasan seperti amal yang dilakukan. Karena itu dengan kaedah tersebut kita bisa memahami sabda Rasulullah Saw. dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمـِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ
اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى
مُعْسِرٍ يَسَّـرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ
مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فيِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ
الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ).
Artinya: “Siapa yang menyelesaikan
problem seorang mukmin di Dunia maka Allah SWT. akan menyelesaikan problemnya
di Akhirat, siapa yang memudahkan orang yang kesulitan maka Allah SWT. akan
memberikan kemudahan kepadanya di Dunia dan Akhirat, siapa yang menutupi aib
saudaranya se-iman maka Allah SWT. akan menutupi aibnya di Dunia dan Akhirat,
dan Allah SWT. senantiasa akan menolong hambanya selama ia menolong
saudaranya”. (HR. Muslim).
Dalam hadits lain yang diriwayatkan Ibnu Umar ra., Rasulullah Saw. bersabda:
Dalam hadits lain yang diriwayatkan Ibnu Umar ra., Rasulullah Saw. bersabda:
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ،
وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ (مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ).
Artinya: Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain, tidak boleh ia menzalimi dan membiarkannya (dalam bahaya), siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. (HR. Bukhari dan Muslim). Siapa yang menolong saudaranya maka Allah SWT. yang akan langsung memberikan pertolongan kepadanya. Dan pertolongan dari Allah SWT., itu mencakup di Dunia dan Akhirat.
Jamaah Jumat yang berbahagia.
Ada beberapa amal yang bisa dilakukan untuk meringankan dan menyelesaikan masalah sesama. Diantaranya dengan doa. Berdoa untuk saudara-saudara kita yang dilanda musibah dan masalah. Berdoa diantara bukti perhatian terhadap sesama. Berdoa adalah satu amal ringan namun cukup memiliki pengaruh. Apalagi doa zahril gaib, yaitu doa dibaca ketika sedang tidak bersama orang yang kita doakan. Lantara membaca doa zahril gaib, Malaikat akan mendoakan si pembaca doa. Rasulullah Saw. bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Abu Darda’ ra.:
عَنِ
أَبِى الدَّرْدَاءِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ
مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ
بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ (رَوَاهُ
مُسْلِمٌ).
Artinya: Doa seorang Muslim untuk saudaranya dalam keadaan zahril gaib (tidak bersama saudara yang didoakan) mustajab, (dan) di atas kepalanya (orang yang mendoakan) ada Malaikat yang diutus, setiap kali orang itu berdoa untuk kebaikan saudaranya, maka Malaikat itu akan berkata “amin, dan bagimu seperti itu juga”. (HR. Muslim).
Jamaah Jumat yang berbahagia.
Amal lain yang bisa menjadi sarana membantu saudara kita adalah berinfak. Bagi siapa yang memiliki keluasan harta, bisa menginfakkan sebagian hartanya untuk kemaslahatan sosial, membantu Muslim yang tidak mampu.
Pada hakikatnya berinfak tidak mengurangi harta seorang munfiq (orang yang berinfak), bahkan bisa menambahnya. Justru apa yang menyebabkan harta bisa berkurang sebenarnya adalah sikap pelit atau menghalangi diri dari berinfak. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:مَا
مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلَانِ فَيَقُولُ
أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا وَيَقُولُ الْآخَرُ اللَّهُمَّ
أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا (رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ).
Artinya: Setiap kali datang pagi hari yang menerpa para hamba ada dua Malaikat yang turun ke bumi seraya berdoa “Wahai Tuhanku berikanlah ganti kepada orang yang berinfak dan timpakanlah kerugian kepada orang yang menghalangi diri dari berinfak”. (HR. Bukhari).
Allah SWT. bahkan memberikan balasan yang tiada tara bagi munfiq (orang yang berinfak) di jalanNya. Allah SWT berfirman:
مثلُ
الّذِين يُنْفِقُون أمْوالهُمْ فِي سبِيلِ اللّهِ كمثلِ حبّةٍ أنْبتتْ سبْع سنابِل
فِي كُلِّ سُنْبُلةٍ مِئةُ حبّةٍ واللّهُ يُضاعِفُ لِمنْ يشاءُ واللّهُ واسِعٌ
علِيمٌ
Artinya: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. (Al Baqarah: 261).
Jamaah Jumat yang berbahagia.
Tentunya selain doa dan infak, masih banyak sarana dan amal yang bisa kita lakukan untuk menolong sesama. Sebagai bukti perhatian terhadap kondisi Kaum Muslimin. Siapa yang memiliki kekuatan harta bisa dengan hartanya. Siapa yang memiliki kekuatan kepemimpinan dan kekuasaan bisa dengan kekuatan itu. Siapa yang hanya bisa berdoa, itulah bukti perhatian terhadap saudara seakidah. Dan setiap amal yang dilakukan untuk menolong sesama Muslim merupakan salah satu indikasi keimanan seseorang. Rasul Saw. bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Sahabat Anas ra.:
عَنْ
أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ).
Artinya: “Tidak beriman seorang
diantara kalian sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai
dirinya sendiri”. (HR. Bukhari).
Semoga Allah SWT. mencatat kita sebagai orang-orang yang beriman dengan sejatinya. Memudahkan kita untuk senantiasa menolong saudara-saudara kita se-aqidah. Semoga Allah SWT. memberikan kemudahan bagi Kaum Muslimin yang masih teraniaya di berbagai penjuru bumi. Menolong mereka yang belum bisa merasakan keamanan dalam menjalankan kewajiban-kewajiban agama. Melindungi mereka dari kerusakan yang digencarkan oleh musuh-musuh Islam. Âmîn yâ rabbal ‘âlamîn.
بَارَكَ
اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ وَ نَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا
فِيْهِ مِنَ اْلأَيَاتِ وَ ذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ
تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
Semoga Allah SWT. mencatat kita sebagai orang-orang yang beriman dengan sejatinya. Memudahkan kita untuk senantiasa menolong saudara-saudara kita se-aqidah. Semoga Allah SWT. memberikan kemudahan bagi Kaum Muslimin yang masih teraniaya di berbagai penjuru bumi. Menolong mereka yang belum bisa merasakan keamanan dalam menjalankan kewajiban-kewajiban agama. Melindungi mereka dari kerusakan yang digencarkan oleh musuh-musuh Islam. Âmîn yâ rabbal ‘âlamîn.
No comments:
Post a Comment