oleh Ust.
Husein Al-Kaff *
Mantiq adalah
alat atau dasar yang penggunaannya akan menjaga kesalahan dalam berpikir. Lebih
jelasnya, Mantiq adalah sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula
berpikir, sehingga seseorang yang menggunakannya akan selamat dari cara
berpikir salah. Manusia sebagai makhluk yang berpikir tidak akan lepas dari
berpikir. Namun, saat berpikir, manusia seringkali dipengaruhi oleh berbagai
tendensi, emosi, subyektifitas dan lainnya sehingga ia tidak dapat berpikir
jernih, logis dan obyektif. Mantiq merupakan upaya agar seseorang dapat
berpikir dengan cara yang benar, tidak keliru. Sebelum kita pelajari
masalah-masalah mantiq, ada baiknya kita mengetahui apa yang dimaksud dengan
"berpikir". Berpikir adalah proses pengungkapan sesuatu yang misteri
(majhul atau belum diketahui) dengan mengolah pengetahuan-pengetahuan yang
telah ada dalam benak kita (dzihn) sehingga yang majhul itu menjadi ma'lûm
(diketahui). Faktor-Faktor Kesalahan Berpikir 1. Hal-hal yang dijadikan dasar
(premis) tidak benar. 2. Susunan atau form yang menyusun premis tidak sesuai
dengan kaidah mantiq yang benar. Argumentasi (proses berpikir) dalam alam
pikiran manusia bagaikan sebuah bangunan. Suatu bangunan akan terbentuk
sempurna jika tersusun dari bahan-bahan dan konstruksi bangunan yang sesuai
dengan teori-teori yang benar. Apabila salah satu dari dua unsur itu tidak
terpenuhi, maka bangunan tersebut tidak akan terbentuk dengan baik dan
sempurna. Sebagai misal, "[1] Socrates adalah manusia; dan [2] setiap
manusia bertindak zalim; maka [3] Socrates bertindak zalim". Argumentasi
semacam ini benar dari segi susunan dan formnya. Tetapi, salah satu premisnya
salah yaitu premis yang berbunyi "Setiap manusia bertindak zalim",
maka konklusinya tidak tepat. Atau misal, "[1] Socrates adalah manusia; dan
[2] Socrates adalah seorang ilmuwan", maka "[3] manusia adalah
ilmuwan". Dua premis ini benar tetapi susunan atau formnya tidak benar,
maka konklusinya tidak benar. (Dalam pembahasan qiyas nanti akan dijelaskan
susunan argumentasi yang benar, pen). Dua kata di atas, Ilmu dan Idrak,
mempunyai makna yang sama (sinonim). Dalam ilmu mantiq, kedua kata ini menjadi
bahasan yang paling penting karena membahas aspek terpenting dalam pikiran
manusia, yakni ilmu. Oleh karena itu, makna ilmu sendiri perlu diperjelas. Para
ahli mantiq (mantiqiyyin) mendefinisikan ilmu sebagai berikut: Ilmu adalah
gambaran tentang sesuatu yang ada dalam benak (akal). Benak atau pikiran kita
tidak lepas dari dua kondisi yang kontradiktif, yaitu ilmu dan jahil (ketidak
tahuan). Pada saat keluar rumah, kita menyaksikan sebuah bangunan yang megah
dan indah, dan pada saat yang sama pula tertanam dalam benak gambaran bangunan
itu. Kondisi ini disebut "ilmu". Sebaliknya, sebelum menyaksikan
bangunan tersebut, dalam benak kita tidak ada gambaran itu. Kondisi ini disebut
"jahil". Pada kondisi ilmu, benak atau akal kita terkadang hanya [1]
menghimpun gambaran dari sesuatu saja (bangunan, dalam misal). Terkadang kita
tidak hanya menghimpun tetapi juga [2] memberikan penilaian atau hukum
(judgement). (Misalnya, bangunan itu indah dan megah). Kondisi ilmu yang
pertama disebut tashawwur dan yang kedua disebut tashdiq. Jadi tashawwur hanya
gambaran akan sesuatu dalam benak. Sedangkan tashdiq adalah penilaian atau
penetapan dengan dua ketetapan: "ya" atau "tidak/bukan".
Misalnya, "air itu dingin", atau "air itu tidak dingin";
"manusia itu berakal", atau "manusia itu bukan binatang"
dan lain sebagainya. Kesimpulan, ilmu dibagi menjadi dua; tashawwuri dan tashdiqi.
Ilmu tashawwuri dan ilmu tashdiqi mempunyai dua macam: dharuri dan nadzari.
Dharuri adalah ilmu yang tidak membutuhkan pemikiran lagi (aksiomatis). Nadzari
adalah ilmu yang membutuhkan pemikiran. Lebih jelasnya, dharuri (sering juga
disebut badihi) adalah ilmu dan pengetahuan yang dengan sendirinya bisa
diketahui tanpa membutuhkan pengetahuan dan perantaraan ilmu yang lain. Jadi
Ilmu tashawwuri dharuri adalah gambaran dalam benak yang dipahami tanpa sebuah
proses pemikiran. Contoh: 2 x 2 = 4; 15 x 15 = 225 atau berkumpulnya dua hal
yang kontradiktif adalah mustahil (tidak mungkin terjadi) adalah hal yang
dharuri. Sedangkan nadzari dapat diketahui melalui sebuah proses pemikiran atau
melalui pengetahuan yang sudah diketahui sebelumnya. (Lihat kembali definisi
berpikir). Jadi ilmu tashawwuri nadzari adalah gambaran yang ada dalam benak
yang dipahami melalui proses pemikiran. Contoh: bumi itu bulat adalah hal yang
nadzari. Pembahasan tentang kulli (general) dan juz'i (parsial) secara esensial
sangat erat kaitannya dengan tashawwur dan juga secara aksidental berkaitan
dengan tashdiq. Kulli adalah tashawwur (gambaran benak) yang dapat diterapkan
(berlaku) pada beberapa benda di luar. Misalnya: gambaran tentang manusia dapat
diterapkan (berlaku) pada banyak orang; Budi, Novel, Yani dan lainnya. Juz'i
adalah tashawwur yang dapat diterapkan (berlaku) hanya pada satu benda saja.
Misalnya: gambaran tentang Budi hanya untuk seorang yang bernama Budi saja.
Manusia dalam berkomunikasi tentang kehidupan sehari-hari menggunakan
tashawwur-thasawwur yang juz'i. Misalnya: Saya kemarin ke Jakarta; Adik saya
sudah mulai masuk sekolah; Bapak saya sudah pensiun dan sebagainya. Namun, yang
dipakai oleh manusia dalam kajian-kajian keilmuan adalah tashawwur-thasawwur
kulli, yang sifatnya universal. Seperti: 2 x 2 = 4; Orang yang beriman adalah
orang bertanggung jawab atas segala perbuatannya; Setiap akibat pasti mempunyai
sebab dan lain sebagainya. Dalam ilmu mantiq kita akan sering menggunakan kulli
(gambaran-gambaran yang universal), dan jarang bersangkutan dengan juz'i. Dalam
benak kita terdapat banyak tashawwur yang bersifat kulli dan setiap yang kulli
mempunyai realita (afrad) lebih dari satu. (Lihat definisi kulli ). Kemudian
antara tashawwur kulli yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan (relasi).
Ahli mantiq menyebut bentuk hubungan itu sebagai "Nisab Arba'ah".
Mereka menyebutkan bahwa ada empat kategori relasi: [1] Tabâyun (diferensi),
[2] Tasâwi (ekuivalensi), [3] Umum wa khusus Mutlaq (implikasi) dan [4] Umum wa
Khusus Minwajhin (asosiasi). Tabâyunadalah dua tashawwur kulli yang
masing-masing dari keduanya tidak bisa diterapkan pada seluruh afrad tashawwur
kulli yang lain. Dengan kata lain, afrad kulli yang satu tidak mungkin sama dan
bersatu dengan afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur
batu. Kedua tashawwur ini sangatlah berbeda dan afradnya tidak mungkin sama.
Setiap manusia pasti bukan batu dan setiap batu pasti bukan manusia. Tasâwi
adalah dua tashawwur kulli yang keduanya bisa diterapkan pada seluruh afrad
kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwurt berpikir. Artinya
setiap manusia dapat berpikir dan setiap yang berpikir adalah manusia. Umum wa
khusus mutlak adalah dua tashawwur kulli yang satu dapat diterapkan pada
seluruh afrad kulli yang lain dan tidak sebaliknya. Misal: tashawwur hewan dan
tashawwur manusia. Setiap manusia adalah hewan dan tidak setiap hewan adalah
manusia. Afrad tashawwur hewan lebih umum dan lebih luas sehingga mencakup
semua afrad tashawwur manusia. Umum wa khusus min wajhin adalah dua tashawwur
kulli yang masing-masing dari keduanya dapat diterapkan pada sebagian afrad
kulli yang lain dan sebagian lagi tidak bisa diterapkan. Misal: tashawwur
manusia dan tashawwur putih. Kedua tashawwur kulli ini bersatu pada seorang
manusia yang putih, tetapi terkadang keduanya berpisah seperti pada orang yang
hitam dan pada kapur tulis yang putih. Kita sepakat bahwa masih banyak hal yang
belum kita ketahui (majhul). Dan sesuai dengan fitrah, kita selalu ingin dan
mencari tahu tentang hal-hal yang masih majhul. Pertemuan lalu telah dibahas
bahwa manusia memiliki ilmu dan pengetahuan (ma'lûm), baik tashawwuri ataupun
tashdiqi. Majhul (jahil) sebagai anonim dari ma'lûm (ilmu), juga terbagi
menjadi dua majhul tashawwuri dan majhul tashdiqi. Untuk mengetahui hal-hal
majhul tashawwuri, kita membutuhkan ma'lûm tashaswwuri. (Lihat definisi
berpikir. Pencarian majhul tashawwur dinamakan "had" atau
"ta'rif". Had/ta'rif adalah sebuah jawaban dan keterangan yang
didahului pertanyaan "Apa?". Saat menghadapi sesuatu yang belum kita
ketahui (majhul), kita akan segara bertanya "apa itu?". Artinya, kita
bertanya tentang esensi dan hakikat sesuatu itu. Jawaban dan keterangan yang
diberikan adalah had (definisi) dari sesuatu itu. Oleh karena itu, dalam
disiplin ilmu, mendefinisikan suatu materi yang akan dibahas penting sekali
sebelum membahas lebih lanjut masalah-masalah yang berkaitan dengannya.
Perdebatan tentang sesuatu materi akan menjadi sia-sia kalau definisinya belum
jelas dan disepakati. Ilmu mantiq bertugas menunjukkan cara membuat had atau
definisi yang benar. Setiap definisi bergantung pada kulli yang digunakan. Ada
lima kulli yang digunakan untuk mendefinisikan majhul tashawwuri (biasa disebut
"kulliyat khamsah"). Lima kulli itu adalah: [1] Nau' (spesies), [2]
jins (genius), [3] fashl (diferentia), [4] 'aradh 'aam (common accidens) dan
[5] 'aradh khas (proper accidens). Pembahasan tentang kulliyat khamsah ini
secara detail termasuk pembahasan filsafat, bukan pembahasan mantiq. Had Tâm,
adalah definisi yang menggunakan jins dan fashl untuk menjelaskan bagian-bagian
dari esensi yang majhul. Misal: Apakah manusia itu? Jawabannya adalah
"Hewan yang berpikir (natiq)". "Hewan" adalah jins manusia,
dan "berpikir" adalah fashl manusia. Keduanya merupakan bagian dari
esensi manusia. Had Nâqish, adalah definisi yang menggunakan jins saja. Misal:
"Manusia adalah hewan". Hewan adalah salah satu dari esensi manusia.
Rasam Tâm, adalah definisi yang mengunakan 'ardh khas. Misal: "Manusia
adalah wujud yang berjalan, tegak lurus dan dapat tertawa". "Maujud
yang berjalan", "tegak lurus" dan "tertawa" bukan
bagian dari esensi manusia, tetapi hanya bagian yang eksiden. Rasam Nâqish,
adalah definisi yang menggunakan 'ardh 'âm, misalnya, "Manusia adalah
wujud yang berjalan". Sebagaimana yang telah kita ketahui, tashdiqi adalah
penilaian dan penghukuman atas sesuatu dengan sesuatu yang lain (seperti:
gunung itu indah; manusia itu bukan kera dan lain sebagainya). Atas dasar itu,
tashdiq berkaitan dengan dua hal: maudhu' dan mahmul ("gunung"
sebagai maudhu' dan "indah" sebagai mahmul). Gabungan dari dua
sesuatu itu disebut qadhiyyah (proposisi). Setiap qadhiyyah terdiri dari tiga
unsur: 1) mawdhu', 2) mahmul dan 3) rabithah (hubungan antara mawdhu' dan
mahmul). Berdasarkan masing-masing unsur itu, qadhiyyah dibagi menjadi beberapa
bagian. Berdasarkan rabithah-nya, qadhiyyah dibagi menjadi dua: hamliyyah
(proposisi kategoris) dan syarthiyyah (proposisi hipotesis). Qadhiyyah
hamliyyah adalah qadhiyyah yang terdiri dari mawdhu', mahmul dan rabithah.
Lebih jelasnya, ketika kita membayangkan sesuatu, lalu kita menilai atau
menetapkan atasnya sesuatu yang lain, maka sesuatu yang pertama disebut mawdhu'
dan sesuatu yang kedua dinamakan mahmul dan yang menyatukan antara keduanya
adalah rabithah. Misalnya: "gunung itu indah". "Gunung"
adalah mawdhu', "indah" adalah mahmul dan "itu" adalah
rabithah (Qadhiyyah hamliyyah, proposisi kategorik) Terkadang kita menafikan
mahmul dari mawdhu'. Misalnya, "gunung itu tidak indah". Yang pertama
disebut qadhiyyah hamliyyah mujabah (afirmatif) dan yang kedua disebut
qadhiyyah hamliyyah salibah (negatif). Qadhiyyah syarthiyyah terbentuk dari dua
qadhiyyah hamliyah yang dihubungkan dengan huruf syarat seperti,
"jika" dan "setiap kali". Contoh: jika Tuhan itu banyak, maka
bumi akan hancur. "Tuhan itu banyak" adalah qadhiyyah hamliyah;
demikian pula "bumi akan hancur" sebuah qadhiyyah hamliyah. Kemudian
keduanya dihubungkan dengan kata "jika". Qadhiyyah yang pertama
(dalam contoh, Tuhan itu banyak) disebut muqaddam dan qadhiyyah yang kedua (dalam
contoh, bumi akan hancur) disebut tali. Qadhiyyah syarthiyyah dibagi menjadi
dua: muttasilah dan munfasilah. Qadhiyyah syarthiyyah yang menggabungkan antara
dua qadhiyyah seperti contoh di atas disebut muttasilah, yang maksudnya bahwa
adanya "keseiringan" dan "kebersamaan" antara dua
qadhiyyah. Tetapi qadhiyyah syarthiyyah yang menunjukkan adanya perbedaan dan
keterpisahan antara dua qadhiyyah disebut munfasilah, seperti, Bila angka itu
genap, maka ia bukan ganjil. Antara angka genap dan angka ganjil tidak mungkin
kumpul. Pembagian qadhiyyah berdasarkan mawdhu'-nya dibagi menjadi dua:
mahshurah dan muhmalah. Mahshurah adalah qadhiyyah yang afrad (realita)
mawdhu'-nya ditentukan jumlahnya (kuantitasnya) dengan menggunakan kata
"semua" dan "setiap" atau "sebagian" dan
"tidak semua". Contohnya, semua manusia akan mati atau sebagian
manusia pintar. Sedangkan dalam muhmalah jumlah afrad mawdhu'-nya tidak
ditentukan. Contohnya, manusia akan mati, atau manusia itu pintar. Dalam ilmu
mantiq, filsafat, eksakta dan ilmu pengetahuan lainnya, qadhiyyah yang dipakai
adalah qadhiyyah mahshurah. Qadhiyyah mahshurah terkadang kulliyah (proposisi
determinatif general) dan terkadang juz'iyyah (proposisi determinatif
partikular) dan qadhiyyah sendiri ada yang mujabah (afirmatif) dan ada yang
salibah (negatif) . Maka qadhiyyah mahshurah mempunyai empat macam: Mujabah
kulliyyah: Setiap manusia adalah hewan Salibah kulliyyah: Tidak satupun manusia
yang berupa batu. Mujabah juz'iyyah: Sebagian manusia pintar Salibah juz'iyyah:
Sebagian manusia bukan laki-laki. Sebenarnya masih banyak lagi pembagian
qadhiyyah baik berdasarkan mahmul-nya (qadhiyyah muhassalah dan mu'addlah),
atau jihat qadhiyyah (dharuriyyah, daimah dan mumkinah) dan qadhiyyah
syarthiyyah muttasilah (haqiqiyyah, maani'atul jama' dan maani'atul khulw).
Namun qadhiyyah yang paling banyak dibahas dalam ilmu filsafat, mantiq dan
lainnya adalah qadhiyyah mahshurah. Setelah kita ketahui definisi dan pembagian
qadhiyyah, maka pembahasan berikutnya adalah hubungan antara masing-masing dari
empat qadhiyyah mahshurah. Pada pembahasan terdahulu telah kita ketahui bahwa
terdapat empat macam hubungan antara empat tashawwuri kulli: [1] tabâyun, [2]
tasâwi, [3] umum wa khusus mutlak dan [4] umum wa khusus min wajhin. Demikian
pula terdapat empat macam hubungan antara masing-masing empat qadhiyyah
mahshurah: [1] tanaqudh, [2] tadhadd, [3] dukhul tahta tadhadd dan [4]
tadakhul. Tanaqudh (mutanaqidhain [kontradiktif]) adalah dua qadhiyyah yang
mawdhu' dan mahmul-nya sama, tetapi kuantitas (kam) dan kualitasnya (kaif)
berbeda, yakni yang satu kulliyah mujabah dan yang lainnya juz'iyyah salibah.
Misalnya, "Semua manusia hewan" (kulliyyah mujabah) dengan
"Sebagian manusia bukan hewan" (juz'iyyah salibah). Tadhad (kontrariatif)
adalah dua qadhiyah yang sama kuantitasnya (keduanya kulliyyah), tetapi yang
satu mujabah dan yang lain salibah. Misalnya, "Semua manusia dapat
berpikir" (kulliyyah mujabah) dengan "Tidak satupun dari manusia
dapat berpikir" (kulliyyah salibah). Dukhul tahta tadhad (dakhilatain
tahta tadhad [interferensif sub-kontrariatif]) adalah dua qadhiyyah yang sama
kuantitasnya (keduanya juz'iyyah), tetapi yang satu mujabah dan lain salibah.
Misalnya: "Sebagian manusia pintar" (juz'iyyah mujabah) dengan
"Sebagian manusia tidak pintar" (juz'iyyah salibah). Tadakhul
(mutadakhilatain [interferensif]) adalah dua qadhiyyah yang sama kualitasnya
tetapi kuantitasnya berbeda. Misalnya: "Semua manusia akan mati"
(kulliyyah mujabah) dengan "Sebagian manusia akan mati" (juz'iyyah
mujabah) atau "Tidak satupun dari manusia akan kekal" (kulliyyah
salibah) dengan "Sebagian manusia tidak kekal" (juz'iyyah salibah).
Dua qadhiyyah ini disebut pula Hukum dua qadhiyyah mutanaqidhain (kontradiktif)
jika salah satu dari dua qadhiyyah itu benar, maka yang lainnya pasti salah.
Demikian pula jika yang satu salah, maka yang lainnya benar. Artinya tidak
mungkin (mustahil) keduanya benar atau keduanya salah. Dua qadhiyyah biasa
dikenal dengan ijtima' al naqidhain mustahil (kombinasi kontradiktif). Hukum
dua qadhiyyah mutadhaddain (kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah
itu benar, maka yang lain pasti salah. Tetapi, jika salah satu salah, maka yang
lain belum tentu benar. Artinya keduanya tidak mungkin benar, tetapi keduanya
mungkin salah. Hukum dua qadhiyyah dakhlatain tahta tadhad (interferensif
sub-kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah itu salah, maka yang lain
pasti benar. Tetapi, jika yang satu benar, maka yang lain belum tentu salah.
Dengan kata lain, kedua qadhiyyah itu tidak mungkin salah, tetapi mungkin saja
keduanya benar. Hukum dua qadhiyyah mutadakhilatain (interferentif), berbeda
dengan masalah tashawwuri. (Lihat pembahasan tentang nisab arba'ah, pen); bahwa
tashawwur kulli (misalnya, manusia) lebih umum dari tashawwur juz'i (misalnya,
Ali). Di sini, qadhiyyah kulliyyah lebih khusus dari qadhiyyah juz'iyyah.
Artinya, jika qadhiyyah kulliyyah benar, maka qadhiyyah juz'iyyah pasti benar.
Tetapi, jika qadhiyyah juz'iyyah benar, maka qadhiyyah kulliyyah belum tentu
benar. Misalnya, jika "setiap A adalah B" (qadhiyyah kulliyyah), maka
pasti "sebagian A pasti B". Tetapi jika "sebagian A adalah
B", maka belum pasti "setiap A adalah B". Salah satu hukum
qadhiyyah yang menjadi dasar semua pembahasan mantiq dan filsafat adalah hukum
tanaqudh (hukum kontradiksi). Para ahli mantiq dan filsafat menyebutkan bahwa
selain mawdhu' dan mahmul dua qadhiyyah mutanaqidhain itu harus sama, juga ada
beberapa kesamaan dalam kedua qadhiyyah tersebut. Kesamaan itu terletak pada:
Kesamaan tempat (makan) Kesamaan waktu (zaman) Kesamaan kondisi (syart)
Kesamaan korelasi (idhafah) Kesamaan pada sebagian atau keseluruhan (juz dan
kull ) Kesamaan dalam potensi dan aktual (bil quwwah dan bil fi'li). Qiyas
(silogisme) Pembahasan tentang qadhiyyah sebenarnya pendahuluan dari masalah
qiyas, sebagaimana pembahasan tentang tashawwur sebagai pendahuluan dari hudud
atau ta'rifat. Dan sebenarnya inti pembahasan mantiq adalah hudud dan qiyas.
Qiyas adalah kumpulan dari beberapa qadhiyyah yang berkaitan yang jika benar,
maka dengan sendirinya (li dzatihi) akan menghasilkan qadhiyyah yang lain
(baru). Sebelum kita lebih lnjut membahas tentang qiyas, ada baiknya kita
secara sekilas beberapa macam hujjah (argumentasi ). Manusia disaat ingin
mengetahui hal-hal yang majhul, maka terdapat tiga cara untuk mengetahuinya:
Pengetahuan dari juz'i ke juz'i yang lain. Argumenatsi ini sifatnya horisontal,
dari sebuah titik yang parsial ke titik parsial lainnya. Argumentasi ini
disebut tamtsil (analogi). Pengetahuan dari juz'i ke kulli. Atau dengan kata
lain, dari khusus ke umum (menggeneralisasi yang parsial) Argumentasi ini
bersifat vertikal, dan disebut istiqra' (induksi). Pengetahuan dari kulli ke
juz'i. Atau dengan kata lain, dari umum ke khusus. Argumentasi ini disebut
qiyas (silogisme). Qiyas dibagi menjadi dua; iqtirani (silogisme kategoris) dan
istitsna'i (silogisme hipotesis). Sesuai dengan definisi qiyas di atas, satu
qadhiyyah atau beberapa qadhiyyah yang tidak dikaitkan antara satu dengan yang
lain tidak akan menghasilkan qadhiyyah baru. Jadi untuk memberikan hasil
(konklusi) diperlukan beberapa qadhiyyah yang saling berkaitan. Dan itulah yang
namanya qiyas. 1. Qiyas Iqtirani Qiyas iqtirani adalah qiyas yang mawdhu' dan
mahmul natijahnya berada secara terpisah pada dua muqaddimah. Contoh:
"Kunci itu besi" dan "setiap besi akan memuai jika
dipanaskan", maka "kunci itu akan memuai jika dipanaskan". Qiyas
ini terdiri dari tiga qadhiyyah; [1] Kunci itu besi, [2] setiap besi akan
memuai jika dipanaskan dan [3] kunci itu akan memuai jika dipanaskan. Qadhiyyah
pertama disebut muqaddimah shugra (premis minor), qadhiyyah kedua disebut
muqaddimah kubra (premis mayor) dan yang ketiga adalah natijah (konklusi).
Natijah merupakan gabungan dari mawdhu' dan mahmul yang sudah tercantum pada
dua muqaddimah, yakni, "kunci" (mawdhu') dan "akan memuai jika
dipanaskan" (mahmul). Sedangkan "besi" sebagai had awshat. Yang
paling berperan dalam qiyas adalah penghubung antara mawdhu' muqadimah shugra
dengan mahmul muqaddimah kubra. Penghubung itu disebut had awsath. Had awsath
harus berada pada kedua muqaddimah (shugra dan kubra) tetapi tidak tecantum
dalam natijah. (Lihat contoh, pen). Empat Bentuk Qiyas Iqtirani Qiyas iqtirani
kalau dilihat dari letak kedudukan had awsath-nya pada muqaddimah shugra dan
kubra mempunyai empat bentuk : 1. Syakl Awwal adalah Qiyas yang had awsth-nya
menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah
kubra. Misalnya, "Setiap Nabi itu makshum", dan "setiap orang
makshum adalah teladan yang baik", maka "setiap nabi adalah teladan
yang baik". "Makshum" adalah had awsath, yang menjadi mahmul
pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah kubra. Syarat-syarat
syakl awwal. Syakl awwal akan menghasilkan natijah yang badihi (jelas dan pasti)
jika memenuhi dua syarat berikut ini: a. Muqaddimah shugra harus mujabah. b.
Muqaddimah kubra harus kulliyah. 2. Syakl Kedua adalah Qiyas yang had
awshat-nya menjadi mahmul pada kedua muqaddimah-nya. Misalnya, "Setiap
nabi makshum", dan "tidak satupun pendosa itu makshum", maka
"tidak satupun dari nabi itu pendosa". Syarat-syarat syakl kedua. a.
Kedua muqaddimah harus berbeda dalam kualitasnya (kaif, yakni mujabah dan
salibah). b. Muqaddimah kubra harus kulliyyah. 3. Syakl Ketiga adalah Qiyas
yang had awshat-nya menjadi mawdhu' pada kedua muqaddimahnya. Misalnya,
"Setiap nabi makshum", dan "sebagian nabi adalah imam",
maka "sebagian orang makshum adalah imam". Syarat-syarat Syakl
ketiga. a. Muqaddimah sughra harus mujabah. b. Salah satu dari kedua muqaddimah
harus kulliyyah. 4. Syakal Keempat adalah Qiyas yang had awsath-nya menjadi
mawdhu' pada muqaddimah shugra dan menjadi mahmul pada muqaddimah kubra
(kebalikan dari syakl awwal.) Syarat-syarat Syakl keempat. a. Kedua
muqaddimahnya harus mujabah. b. Muqaddimah shugra harus kulliyyah. Atau c.
Kedua muqaddimahnya harus berbeda kualitasnya (kaif) d. Salah satu dari
keduanya harus kulliyyah. Catatan: Menurut para mantiqiyyin, bentuk qiyas
iqtirani yang badihi (jelas sekali) adalah yang pertama sedangkan yang kedua
dan ketiga membutuhkan pemikiran. Adapun yang keempat sangat sulit diterima
oleh pikiran. Oleh karena itu Aristoteles sebagai penyusun mantiq yang pertama
tidak mencantumkan bentuk yang keempat. Berbeda dengan qiyas iqtirani, qiyas
ini terbentuk dari qadhiyyah syarthiyyah dan qadhiyyah hamliyyah. Misalnya,
"Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Oleh karena
dia mempunyai mukjizat, berarti dia utusan Allah". Penjelasannya:
"Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat" adalah
qadhiyyah syarthiyyah yang terdiri dari muqaddam dan tali (lihat definisi
qadhiyyah syarthiyyah), dan "Dia mempunyai mukjizat" adalah qadhiyyah
hamliyyah. Sedangkan "maka dia mempunyai mukjizat" adalah natijah.
Dinamakan istitsna'i karena terdapat kata " tetapi", atau "oleh
karena". Macam-Macam Qiyas istitsna'i (silogisme) Ada empat macam qiyas
istitsna'i: Muqaddam positif dan tali positif. Misalnya, "Jika Muhammad
utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Tetapi Muhammad mempunyai mukjizat
berarti Dia utusan Allah". Muqaddam negatif dan tali positif. Misalnya,
"Jika Tuhan itu tidak satu, maka bumi ini akan hancur. Tetapi bumi tidak
hancur, berarti Tuhan satu (tidak tidak satu)". Tali negatif dan muqaddam
negatif. Misalnya, "Jika Muhammad bukan nabi, maka dia tidak mempunyai
mukjizat. Tetapi dia mempunyai mukjizat, berarti dia Nabi (bukan bukan
nabi)". Tali negatif dan muqaddam positif. Misalnya, "Jika Fir'aun
itu Tuhan, maka dia tidak akan binasa. Tetapi dia binasa, berarti dia bukan
Tuhan". * Makalah Ust. Husein Al-Kaff dalam Kuliah Logika "Pengantar
Menuju Filsafat Islam" di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad pada tanggal
25 Oktober -1 November 1999 M.
Semoga artikel ini bermanfaat..
Copyright zona-99.blogspot.com
No comments:
Post a Comment