Thursday, 22 May 2014

Kritik Sastra

A.    Pendahuluan
Kritik sastra adalah bidang kesusastraan yang terus menerus berkembang di dunia. Sebagai akibat dari kemajuan teknologi, perkembangan kritik sastra dunia tentu mempengaruhi perkembangan studi kritik sastra Indonesia. Pengaruh ini dapat timbul dari kerja-kerja kritik yang dilakukan oleh kritikus-kritikus sastra Indonesia-baik dari golongan akademisi, sastrawan, maupun peminat sastra-terhadap karya sastra Indonesia yang selanjutnya mendapatkan tanggapan dari masyarakat sastra dunia, kerja kritik pada karya-karya berbahasa asing, atau sebaliknya: kerja kritik pada karya-karya Indonesia oleh kritikus-kritikus asing, maupun transfer pengetahuan dalam bentuk studi banding dan penterjemahan teks atau buku-buku teori kritik sastra. Makalah ini dimulai dengan pembahasan mengenai studi kritik sastra yang sejak dulu dipahami sebagai sebuah bentuk kerja interpretasi (menjelaskan maksud) untuk karya imajinatif (atau karya sastra) ternyata sudah mulai bergeser fungsinya dengan tuntutan menjadikan kritik sastra sebagai sebuah bentuk karya sastra sekelas dengan seni yang lain.
Sastra juga dimaksudkan untuk menjelaskan pada masyarakat bahwa karya sastra adalah hasil interpretasi pengarang terhadap suatu fenomena sehingga terkadang berbeda dan “mengacuhkan” kenyataan yang diakui masyarakat, untuk hal ini karya sastra perlu dilindungi karena karya tersebut perlu dipandang terlepas dari pengarangnya sebagai konstruksi yang otonom/berdiri sendiri. Krieger juga mengatakan kemungkinan adanya penjelasan kembali atas pengkaburan batas antara kesusastraan dan kritik sastra akan semakin sulit dilakukan jika pekerjaan-pekerjaan kritik yang ada sekarang hanya “melihat” sesuatu yang tampak dipermukaan (cover what only appears) dunia sastra, atau hanya bereaksi pada karya-karya yang telah mendapat tanggapan atau komentar sebelumnya. Dengan berpegang pada keunggulan, niscaya pada akhirnya kita juga harus meletakkan karya sastra pada kelas yang sama dengan kritik karena kritik yang tidak baik dan tidak memiliki keunggulan, pasti berasal dari tidak adanya keunggulan kesusastraan dari karya itu sendiri (no literal primacy in discourse at all).
Yang pertama, ketika karya sastra ternyata hanya sekadar meniru tanpa memberikan refleksi lain, kritik sastra dapat dipandang sebagai karya utama karena kritik mampu menulis ulang (layaknya karya sastra) sebuah objek dalam terminologi atau pengertiannya sendiri (criticism is now have always been rewriting the object in the critic’s own terms).Walaupun dalam hal tata bahasa dan pilihan kata dapat dikatakan terlalu rumit, secara keseluruhan, tulisan Murray Krieger “Criticism as a Secondary Art” ini dapat dikatakan cukup baik dan membantu kita, pembacanya, mengerti bagaimana bentuk kritik sastra yang baik, kedudukan kritik sastra yang terus berkembang, dan sedikit kilasan perkembangan kritik sastra Amerika.
B.     Peranan dan Posisi Kritik Sastra
Pradopo mengatakan bahwa kepentingan kritik sastra bagi masyarakat pada umumnya untuk penerangan. Maksudnya adalah bahwa sebuah karya sastra tidak akan bisa dimaknai secara utuh dalam satu kesatuan jika tidak dikaji lebih dalam. Untuk mengkaji ini diperlukan seorang kritikus sastra, yaitu sebagai pemberi penjelasan terhadap karya sastra yang ada. Baik teori, sejarah, maupun kritik saling bantu membantu. Ketiga disiplin ilmu tersebut tidak bisa berdiri sendiri.
Berbicara tentang kritik sastra, tentunya tidak dapat melepaskan diri dari pembicaran tentang masyarakat sastra. Masyarakat sastra yang dimaksudkan ialah semua orang yang terlibat di dalam hal kesusastraan, yaitu orang-orang yang terlibat di dalam pengembangan kesusastraan, memanfaatkan kesusastraan, dan menikmati kesusastraan. Jadi masyarakat sastra ialah orang-orang yang berhubungan dengan tiga bidang, diantaranya;
1.      Para ahli sastra yang bergerak di dalam ilmu sastra.
2.      Para pencipta sastra, yaitu para sastrawan.
3.      Para penikmat sastra, yaitu para pembaca yang menikmati serta menghayati karya sastra.
Kritik sastra mempunyai andil besar terhadap perkembangan teori sastra. Kritikus sastra, yang dengan ketajaman, kejujuran, serta keluasan daya pikirnya merupakan faktor dalam menentukan perkembangan ilmu sastra. Kritik sastra berhadapan langsung dengan karya sastra, melihat struktur cerita, gaya dan teknik pengungkapan atau penceritaan, gaya bahasa atau sebagainya. Dengan demikian, kritik sastra memberikan sumbangan kepada para ahli sastra dalam mengembangkan teori sastranya. Disamping itu, kritik sastra juga sangat besar peranannya di dalam penyusunan sejarah sastra. Di dalam menyusun perkembangan penggunaan unsur bunyi, kombinasi kata, gaya bahasa, pikiran-pikiran yang dikemukakan, oleh pengarang, filsafat, pandangan hidup, dsb. Para ahli sejarah sastra dapat memanfaatkan hasil kritik sastra dalam hal memilih hasil-hasil seni karya sastra yang bermutu, sebab tidak semua hasil sastra dimasukkan ke dalam rangkaian sejarah sastra. Yang dicatat dalam sejarah sastra adalah hasil karya yang menunjukkan perkembangan baru yang berbobot sastra.
Peranan kritik sastra yang lain ialah sebagai jembatan antara karya sastra dengan para penikmat. Banyak karya sastra baik berbentuk puisi maupun prosa, karena mengandung makna atau dari nilai kehidupan yang dalam, sukar dihayati oleh pembaca. Dengan adanya kritik sastra, para pembaca lebih dapat menikmati karya-karya tersebut, sehingga secara tidak langsung akan dapat mempertinggi taraf kehidupan rohani masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwa kritik sastra yang tepat mampu menunjukkan nilai-nilai suatu karya sastra, meniadakan hal-hal yang sulit serta rumit yang menyelimuti karya tersebut disebabkan oleh adanya uraian, penjelasan, serta penafsiran dari kritikus. Banyak karya sastra yang sebenarnya bermutu, tapi kurang mendapat penghargaan dari masyarakat sastra khususnya pembaca tidak dapat menangkap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Jika kritikus berhasil mengungkapkan nilai-nilai yang terkandung di dalam suatu karya misalnya dengan menjelaskan metafora-metafora, lambang-lambang yang sukar ditangkap, serta implikasi-implikasi yang terdapat di balik itu semua, maka karya-karya termaksud di atas tidak lagi menyulitkan masyarakat pembaca. Dengan demikian, lebih dapat menikmati karya sastra secara lebih baik dan lebih bermakna, dan ini berarti meningkatkan kemampuan apresiasi sastra.
Ruang lingkup sastra adalah kreativitas penciptaan karya sastra dengan segala rupa estetikanya, sedangkan ruang lingkup studi sastra adalah ilmu pengetahuan dengan sastra sebagai objeknya. Sastra, atau yang biasa disebut dengan karya sastra , memfokuskan diri pada karya penciptaan atau kreativitas yang dilakukan oleh manusia melalui media bahasa. Sementara itu, studi sastra memfokuskan pada ilmu pengetahuan kemanusiaan (humaniora). Pertanggungjawaban sastra adalah  estetika dengan segala kreativitasnya, sedangkan pertanggungjawaban studi sastra adalah logika ilmiah dengan metode-metode ilmiahnya.
Dalam studi sastra ini, aspek kehidupan yang begitu luas tentu dapat dipetakan atau dipilah-pilahkan sesuai dengan bidang-bidang atau wilayah-wilayahnya. Secara sederhana, studi kesusastraan itu meliputi lima wilayah atau bidang kajian sastra sebagai berikut:
1.      Studi Penciptaan, adalah studi tentang dunia seniman, dunia sastrawan, dunia penyair atau dunia pengarang, yaitu studi tentang dunia pengucapan sastrawan dalam menciptakan karya sastra. Kajian wilayah studi penciptaan ini kemudian menimbulkan pendekatan eksternal atau ekstrinsik, yang meliputi (1) biografi dan latar kehidupan pengarang, (2) proses kreatif dan latar penciptaan karya sastra, (3) aktivitas budaya pengarang, (4) respon budaya pengarang, dan (5) kesadaran budaya pengarang.
2.      Studi Kekaryaan, adalah studi tentang dunia karya sastra atau teks sastra, yaitu studi tentang buah karya atau hasil ciptaan pengarang. Wilayah kekaryaan sering disebut dengan istilah genre sastra (literary genre), yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai tipe, jenis, ragam, atau bentuk karya sastra. Studi kekaryaan ini berkembang hingga akhirnya menimbulkan pendekatan tekstual, objektif, instrinsik, dan berbagai pendekatan lain yang berorientasi pada teks karya sastra secara otonom dengan koherensi interen.
3.      Studi Penikmatan, adalah studi sastra yang berhubungan dengan pembaca karya sastra. Peran pembaca ini dapat sebagai pembaca awam, peneliti, pengamat, kritikus, siswa, pelajar, guru, mahasiswa, komunitas sastra, dan dosen yang mengajar dan mengapresiasi karya sastra. Dalam studi sastra wilayah penikmatan ini dapat menimbulkan pendekatan pragmatik dan resepsi sastra atau estetika resepsi yang berorientasi kepada pembaca.
4.      Studi Pendukung, adalah studi karya sastra yang berhubungan dengan pendukung keberadaan karya sastra, seperti masalah-masalah sosial yang melingkupi keberadaan sastra, masyarakat pembacanya, komunitas sastra, media massa cetak (koran dan majalah) media massa elektronik (radio, televisi, CD, dan internet), penerbit, editor, toko buku, perpustakaan, pusat-pusat dokumentasi, dan lembaga-lembaga terkait lainnya.
5.      Studi Keilmuan, adalah studi sastra yang berhubungan dengan ilmu-ilmu sastra, yaitu studi tentang berbagai pengetahuan yang dapat digunakan untuk memahami, menelaah, mengulas, mengapresiasi, merebut makna, dan mengevaluasi karya sastra.
Demikian secara ringkas peta wilayah studi kesusastraan yang dapat dijelajahi setiap saat berhubungan dengan pilihan studi masalah-masalah sastra. Dengan peta ringkas wilayah-wilayah kesusastraan diatas dapat diperoleh gambaran dimana sebenarnya letak atau posisi kritik sastra tersebut. Namun, dalam praktek kerjanya wilayah keilmuan yang akan mendominasi dan merasuki ke berbagai wilayah studi sastra tersebut. Secara umum, posisi kritik sastra dapat meliputi semua bidang studi sastra, karena pemahaman kritik sastra juga sama dengan pemahaman studi kesusastraan. Namun, secara khusus, posisi kritik sastra berada dalam cakupan wilayah ilmu sastra.
C.    Batasan dan Manfaat Kritik Sastra
Berdasarkan pengertian dan istilah asalnya dari bahasa Yunani kuno yaitu krites, krinein, kriterion, dan kritikos itu, beberapa pakar sastra kemudian memberi batasan atau definisi tentang kritik sastra sebagai berikut;
1.      “Kritik sastra adalah salah satu jenis esai, yaitu pertimbangan baik atau buruk sesuatu hasil kesusastraan. Pertimbangan itu tentu dengan memberikan alasan-alasan mengenai isi dan bentuk hasil kesusastraan. Seorang kritikus adalah seorang pengkritik atau penimbang ialah orang yang berperan sebagai perantara antara si pencipta dan orang banyak.” (H.B. Jassin, 1983: 95 dalam  Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung, Cet. VI)
2.      “Kritik sastra adalah bidang studi sastra untuk ‘menghakimi’ karya sastra, untuk memberi penilaian, dan keputusan mengenai bermutu atau tidaknya suatu karya sastra yang sedang dihadapi oleh kritikus” (Rachmat Joko Pradopo, 1994: 10 dalam bukunya yang berjudul Prinsip-prinsip Karya Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press).
3.      “Kritik sastra adalah pembicaraan atau tulisan yang membandingkan, menganalisis, menafsirkan, dan menilai karya sastra” (Panuti Sudjiman, 1990: 46 dalam buku Kamus Istilah Sastra. Jakarta: UI-Press).
Batasan-batasan kritik sastra yang disebutkan di atas pada dasarnya memiliki jalan pikiran yang hampir sama, perbedaannya hanyalah terletak pada perumusan atau redaksionalnya saja. Dari uraian di atas dapat ditarik simpulan bahwa kritik sastra adalah studi tentang keilmuan yang berupaya menentukan nilai hakiki karya sastra dalam bentuk memberi pujian, menyatakan kesalahan, dan memberi pertimbangan melalui pemahaman deskriptif, pendefinisian, penggolongan, (klasifikasi), dan penilaian sastra secara sistematis dan terpola dengan menggunakan metode tertentu.
Adapun suatu ilmu pengetahuan yang dipelajari dan diperdalam ini tentu ada manfaat dan kegunaannya bagi kehidupan. Demikian pula kritik sastra sebagai ilmu pengetahuan tentang hal ihwal sastra juga memiliki manfaat bagi kehidupan, baik secara langsung maupun tidak. M. Atar Semi (1984: 24-26) menyatakan ada tiga fungsi atau kegunaan kritik sastra, yaitu:
1.      Untuk Pembinaan dan Pengembangan Sastra.
Fungsi utama kritik sastra adalah melakukan pembinaan terhadap sastrawan atau penulis-penulis karya sastra dan mengembangkan hasil-hasil karya sastra yang ditulisnya. Pembinaan dapat dilakukan terhadap orang atau sastrawannya. Sementara itu, pengembangan dapat dilakukan terhadap kemampuan penulisan karya sastra dan hasil karyanya yang sekaligus peningkatan mutu sastra. Dalam hasil ini pembinaan dan pengembangan sastra dapat dilakukan penilaian terhadap karya sastra. Setiap karya sastra yang memiliki mutu tinggi, sastrawannya dapat diberikan penghargaan atau hadiah sastra.
2.      Untuk Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan dan Apresiasi Seni.
Kritik sastra dapat berfungsi untuk membina dan mengembangkan tradisi kebudayaan suatu bangsa dan menghargai nilai-nilai seni yang terdapat dalam suatu masyarakat. Karya sastra merupakan dokumen budaya bangsa yang sangat berharga dan perlu ditingkatkan produknya. Dengan adanya kritik sastra dapat dipahami dan mengerti kandungan nilai-nilai yang terdapat dalam karya tersebut.
3.      Untuk Menunjang Ilmu Sastra
Kritik sastra berguna pula untuk pembinaan dan pengembangan ilmu-ilmu sastra, baik teori sastra, teori kritik sastra, maupun penyusunan sejarah sastra. Sejarah telah membuktikan bahwa perkembangan dan kepesatan laju ilmu sastra dapat dilihat dari sejarah perkembangan kritik sastranya. Jadi, kemajuan ilmu sastra sangat bergantung pada perkembangan dan kemajuan kritik sastranya. Sementara itu, Rachmat Joko Pradopo (1990: 93; 1994: 14; dan 2001: 36-39) menyatakan bahwa pada pokoknya kritik sastra mempunyai tiga kegunaan atau kepentingan, yaitu; (1) kegunaan bagi ilmu sastra itu sendiri. (2) bagi perkembangan kesusastraan. (3) berguna bagi masyarakat pada umumnya yang menginginkan penerangan tentang karya sastra.
Dari ketiga kegunaan tersebut saling berperan aktif dalam proses terjadinya kritik terhadap sebuah karya sastra. Ketika seseorang akan menyusun teori sastra tentang jenis sastra, pakar sastra tersebut memerlukan bantuan kritik sastra tentang jenis-jenis sastra yang ditelitinya. Demikian pula ketika hendak menguraikan struktur atau norma-norma sastra.
D.    Pendekatan Kritik Sastra
Seorang kritikus di dalam menilai karya sastra menggunakan suatu pendekatan yang ia anggap paling tepat. Pendekatan ini biasanya tidak lepas dari pandangan apa hakikat sastra itu. Karena pandangan terhadap hakikat sastra itu berbeda-beda, maka terdapat pula perbedaan-perbedaan pendekatan yang tidak jarang menjadi suatu pertikaian yang sengit. Sehubungan dengan hal di atas, M. H. Abrams membuat suatu kerangka tentang karya sastra yang sekiranya dapat dipakai sebagai pangkal tolak pendekatan-pendekatan dalam kritik sastra. Kerangka dimaksud ialah sebagai berikut:
1.      Pendekatan Objektif. Pendekatan ini menganggap bahwa karya sastra itu sesuatu yang mandiri. Karya sastra itu suatu keutuhan yang berdiri sendiri, tersusun dari bagian-bagian yang saling berjalinan erat secara batiniah. Yang menjadi pusat perhatian pendekatan ini ialah karya itu sendiri, sejauh mana keterjalinan bagian-bagian itu dalam membentuk suatu keseluruhan. Dengan kata lain, pendekatan ini hanya memperhatikan faktor-faktor internal karya sastra, tidak mengaitkannya dengan faktor-faktor eksternal.
2.      Pendekatan Ekspresif. Pendekatan ini menganggap bahwa karya sastra itu merupakan hasil curahan pengalaman jiwa pengarang. Yang menjadi pusat perhatian ialah jiwa pengarang. Sejauh mana keberhasilan pengarang dalam mengekspresikan jiwanya itu dalamwujud karya sastranya.
3.      Pendekatan Mimetik. Pendekatan ini memandang bahwa karya sastra itu suatu tiruan aspek-aspek alam, pencerminan dunia nyata. Yang menjadi pusat perhatian ialah kebenaran pembayangan terhadap objek yang digambarkan atau hendaknya digambarkan.
4.      Pendekatan Pragmatik. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai sarana untuk mencapai tujuan, untuk mencapai efek tertentu pada pembaca, misalnya kenikmatan, keindahan, pendidikan, sosial, politik. Kecenderungan pendekatan ini ialah menilai sejauh mana keberhasilan karya sastra itu dalam mencapai tujuan.
Keberagaman pendekatan yang ada kiranyadapat dikembalikan ke empat pendekatan di atas. Apabila suatu pendekatan itu menitikberatkan penilaiannya terhadap karya sastra sebagaimana adanya dapat disejajarkan dengan pendekatan yang objektif. Apabila penilaian dititikberatkan pada pengaruhnya, pendekatan di atas dapat dimasukkan bahwa pendekatan ekspresif. Apabila perhatian utama ditujukan pada karya sastra itu sebagai pencerminan dunia kehidupan, dapat disamakan dengan pendekatan mimetik. Dan apabila suatu pendekatan itu memusatkan penilaiannya pada keberhasilan tujuan yang hendak dicapai dapat disamakan dengan pendekatan mimetik. Perlu diketahui bahwa keempat pendekatan di atas dalam kenyataannya tidak dapat dipisah-pisahkan secara mutlak, misalnya pendekatan mimetik pun sebenarnya terkandung pula pendekatan pragmatik. Namun demikian, pendekatan model Abrams ini sangat bermanfaat untuk memahami teori sastra serta pendekatan-pendekatan karya sastra dalam keragamannya.
E.     Metode Kritik Sastra
Kata metode berasal dari bahasa Latin methodos, dari kata meta dan hodos. Kata meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah, dan kata hodos berarti jalan, cara, arah. Secara luasnya kata metode dapat diartikan sebagai ‘cara-cara atau strategi untuk memahami realitas, dan langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya’. Sebagai alat, metode disamakan dengan teori, yaitu berfungsi untuk menyederhanakan masalah sehingga memudahkan untuk memecahkan masalah itu. Jadi, metode kritik sastra adalah cara-cara sistematis untuk memahami makna karya sastra. Menurut Rachmat Djoko Pradopo (2002: 20-24) ada empat empat metode kritik sastra yang secara umum digunakan oleh kritikus sastra, yaitu: (1) metode struktural, (2) metode perbandingan, (3) metode sosiologi sastra, dan (4) metode estetika resepsi. Agar lebih jelasnya, keempat metode kritik sastra tersebut dijabarkan sebagai berikut:
1.      Metode Struktural
Metode struktural berdasarkan teori bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri atas bermacam-macam unsur pembentuknya itu terdapat jalinan yang erat (koherensi). Makna unsur-unsur karya sastra itu hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuhnya atas dasar empat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan karya sastra. Oleh karena itu, metode struktural merupakan metode kritik objektif yang mendasarkan pada jalinan (koherensi) dengan unsur-unsur lain dalam struktur tersebut. Pelopor strukturalisme, Claude Levi-Strauss, strukturalismenya bersifat umum karena mencakup semua gagasan struktur. Menurut Levi-Strauss “Strukturalisme adalah suatu cara mencari realitas dalam hal-hal (benda-benda) yang saling berjalinan antara sesamanya, bukan dalam hal-hal yang bersifat individu”.
Formulasi yang demikian itu menjadi terlalu luas cakupannya sehingga terasa tidak begitu mudah untuk diterapkan dalam kajian ilmu diluar antropologi. Berdasarkan kenyataan seperti itu para pakar ilmu bahasa beralih perhatian kepada Ferdinand de Saussure, seorang pakar linguistik dari Swiss. Meskipun de Saussure tidak berbicara tentang struktur, ia berbicara tentang sistem dalam analisis bahasa. Teori yang dikemukakan de Saussure itu begitu cemerlang yang meliputi (1) penampangan diakronis dan sinkronis, (2) langue (bahasa) dan parole (tuturan), (3) penanda (bentuk) dan petanda (gagasan), dan (4) sintakmatik dan asosiatif.
2.      Metode Perbandingan
Metode perbandingan disini diartikan sebagai upaya untuk mendapatkan hasil pemahaman makna karya sastra dengan jalan membandingkan dua karya sastra atau lebih yang menunjukkan adanya persamaan atau perbedaan tema, struktur, atau pun gaya. Dalam metode perbandingan ini dapat pula dikaitkan dengan teori intertekstual yang berprinsip terdapatnya persamaan atau pun perbedaan dalam satu genre ssastra dari yang lam ke yang baru atau dari karya sastra yang terdahulu dan karya sastra yang kemudian, baik strukturnya, unsur-unsur pembentuk struktur , maupun gaya yang digunakannya. Perbandingan dapat dilihat dari jalur kesejajaran teks, tematiks teks, genre teks, dan genetik teks.
3.      Metode Sosiologi Sastra
Metode sosiologi sastra berdasarkan prinsip bahwa karya sastra merupakan refleksi/cerminan masyarakat pada zaman karya sastra itu ditulis. Sebagai anggota masyarakat, penulis tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan sosial budaya, politik, keamanan, ekonomi, dan alam yang melingkupinya. Selain merupakan suatu eksperimen moral yang dituangkan oleh pengarang melalui bahasa, sastra dalam kenyataannyamenampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri merupakan kenyataan sosial (Damono, 1978:1). Seperti halnya karya seni yang lainnya, karya sastra adalah refleksi transformasi pengalaman hidup dan kehidupan manusia, baik secara nyata ada maupun hanya rekaansemata, yang dipenggal-penggal dan kemudian dirangkai kembali dengan imajinasi, persepsi, dan keahlian pengarang serta disajikan melalui sebuah media (bahasa). Sebagai lembaga sosial, kesusastraanmenampung berbagai aspirasi masyarakat yang disuarakan oleh pengarang melalui karya sastra yang dihasilkannya. Masalah kekuasaan tak luput menjadi perhatian para sastrawan sejak zaman dahulu sampai sekarang.
4.      Metode Estetika Resepsi
Metode estetika resepsi mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra itu sejak terbitnya selalu mendapat resepsi atau tanggapan para pembacanya. Sebab karya sastra merupakan struktur estetik yang terdiri atas tanda-tanda estetik yang dipancarkan kepada pembacanya. Di dalam metode estetika resepsi yang perlu diperhatikan bukan hanya eksistensi sebuah karya sastra, melainkan juga resepsi pembacanya. Sementara itu resepsi ditentukan oleh penerimaan estetik, interpretasi, dan evaluasi pembacanya(Vodicka, 1964: 71). Estetika resepsi adalah sebuah metode kritik sastra yang menitik beratkan pada peranan pembaca yang memperhatikan karya sastra sebagai sebuah struktur. Di satu pihak pembaca memiliki nilai-nilai yang berubah. Sementara itu, di lain pihak karya sastra sebagai sebuah struktur menentang struktur karya sebelumnya. Estetika resepsi melihat nilai sastra sebagai sebuah konsep dari perubahan yang tetap, bergantung pada sistem norma pembacanya. Metode estetika resepsi merupakan sebuah kejutan untuk evaluasi kesusastraan guna melengkapi perbedaan pandangan dari konsep “nilai kesusastraan”. Hal tersebut disebabkan selama ini struktural menganggap bahwa nilai sastra terlepas dari pembacanya (Segers, 1978: 49).
F.     Kesimpulan

Pembaca karya sastra yang baik adalah pembaca yang dapat mencapai tingkat apresiasi. Ada tiga tingkatan apresiasi: apresiasi empatik, apresiasi estetik, dan apresiasi kritik. Pada tahap apresiasi empatik seseorang terlibat secara intelektual, emosional, dan imajinatif di dalam suatu karya sastra. Seseorang tersebut memikirkan, merasakan, serta menghayalkan sebagaimana yang terjadi pada diri pengarang pada waktu mencipta karya sastra yang dibacanya. Tahap ini dipandang sebagai tahap yang paling awal. Pada tingkat apresiasi estetik, seseorang telah mengambil jarak dengan karya sastra yang dihadapainya. Seseorang tersebut mengamati unsur demi unsur karya sastra yang dibacanya, mengamati keharmonisan pertautan antar unsur karya sastra tersebut sampai membentuk sebuah struktur karya sastra yang padu, dan semuanya dilakukan dengan sangat menghayati. Apresiasi kritik berada di atas apresiasi empatik dan apresiasi estetik. Pada tataran apresiasi kritik seseorang tidak hanya sekedar sangat menghayati karya sastra yang dibacanya tetapi juga sangat fasih dan mampu menjelaskan keterlibatan dirinya dalam karya sastra yang dibacanya tersebut, dan juga mampu berbicara tentang nilai-nilai struktural intrinsik maupun nilai-nilai relasional ekstrinsik.
Title: Kritik Sastra; Written by chepy.mz; Rating: 5 dari 5

No comments:

Post a Comment