A.
Pendahuluan
Kritik
sastra adalah bidang kesusastraan yang terus menerus berkembang di dunia.
Sebagai akibat dari kemajuan teknologi, perkembangan kritik sastra dunia tentu
mempengaruhi perkembangan studi kritik sastra Indonesia. Pengaruh ini dapat
timbul dari kerja-kerja kritik yang dilakukan oleh kritikus-kritikus sastra
Indonesia-baik dari golongan akademisi, sastrawan, maupun peminat sastra-terhadap
karya sastra Indonesia yang selanjutnya mendapatkan tanggapan dari masyarakat
sastra dunia, kerja kritik pada karya-karya berbahasa asing, atau sebaliknya:
kerja kritik pada karya-karya Indonesia oleh kritikus-kritikus asing, maupun
transfer pengetahuan dalam bentuk studi banding dan penterjemahan teks atau
buku-buku teori kritik sastra. Makalah ini dimulai dengan pembahasan mengenai
studi kritik sastra yang sejak dulu dipahami sebagai sebuah bentuk kerja
interpretasi (menjelaskan maksud) untuk karya imajinatif (atau karya sastra)
ternyata sudah mulai bergeser fungsinya dengan tuntutan menjadikan kritik
sastra sebagai sebuah bentuk karya sastra sekelas dengan seni yang lain.
Sastra
juga dimaksudkan untuk menjelaskan pada masyarakat bahwa karya sastra adalah
hasil interpretasi pengarang terhadap suatu fenomena sehingga terkadang berbeda
dan “mengacuhkan” kenyataan yang diakui masyarakat, untuk hal ini karya sastra
perlu dilindungi karena karya tersebut perlu dipandang terlepas dari
pengarangnya sebagai konstruksi yang otonom/berdiri sendiri. Krieger juga
mengatakan kemungkinan adanya penjelasan kembali atas pengkaburan batas antara
kesusastraan dan kritik sastra akan semakin sulit dilakukan jika
pekerjaan-pekerjaan kritik yang ada sekarang hanya “melihat” sesuatu yang
tampak dipermukaan (cover what only appears) dunia sastra, atau hanya bereaksi
pada karya-karya yang telah mendapat tanggapan atau komentar sebelumnya. Dengan
berpegang pada keunggulan, niscaya pada akhirnya kita juga harus meletakkan
karya sastra pada kelas yang sama dengan kritik karena kritik yang tidak baik
dan tidak memiliki keunggulan, pasti berasal dari tidak adanya keunggulan
kesusastraan dari karya itu sendiri (no literal primacy in discourse at all).
Yang
pertama, ketika karya sastra ternyata hanya sekadar meniru tanpa memberikan
refleksi lain, kritik sastra dapat dipandang sebagai karya utama karena kritik
mampu menulis ulang (layaknya karya sastra) sebuah objek dalam terminologi atau
pengertiannya sendiri (criticism is now have always been rewriting the object
in the critic’s own terms).Walaupun dalam hal tata bahasa dan pilihan kata
dapat dikatakan terlalu rumit, secara keseluruhan, tulisan Murray Krieger
“Criticism as a Secondary Art” ini dapat dikatakan cukup baik dan membantu
kita, pembacanya, mengerti bagaimana bentuk kritik sastra yang baik, kedudukan
kritik sastra yang terus berkembang, dan sedikit kilasan perkembangan kritik
sastra Amerika.
B.
Peranan dan Posisi Kritik Sastra
Pradopo
mengatakan bahwa kepentingan kritik sastra bagi masyarakat pada umumnya untuk
penerangan. Maksudnya adalah bahwa sebuah karya sastra tidak akan bisa dimaknai
secara utuh dalam satu kesatuan jika tidak dikaji lebih dalam. Untuk mengkaji
ini diperlukan seorang kritikus sastra, yaitu sebagai pemberi penjelasan
terhadap karya sastra yang ada. Baik teori, sejarah, maupun kritik saling bantu
membantu. Ketiga disiplin ilmu tersebut tidak bisa berdiri sendiri.
Berbicara
tentang kritik sastra, tentunya tidak dapat melepaskan diri dari pembicaran
tentang masyarakat sastra. Masyarakat sastra yang dimaksudkan ialah semua orang
yang terlibat di dalam hal kesusastraan, yaitu orang-orang yang terlibat di
dalam pengembangan kesusastraan, memanfaatkan kesusastraan, dan menikmati
kesusastraan. Jadi masyarakat sastra ialah orang-orang yang berhubungan dengan
tiga bidang, diantaranya;
1.
Para
ahli sastra yang bergerak di dalam ilmu sastra.
2.
Para
pencipta sastra, yaitu para sastrawan.
3.
Para
penikmat sastra, yaitu para pembaca yang menikmati serta menghayati karya
sastra.
Kritik
sastra mempunyai andil besar terhadap perkembangan teori sastra. Kritikus
sastra, yang dengan ketajaman, kejujuran, serta keluasan daya pikirnya
merupakan faktor dalam menentukan perkembangan ilmu sastra. Kritik sastra
berhadapan langsung dengan karya sastra, melihat struktur cerita, gaya dan
teknik pengungkapan atau penceritaan, gaya bahasa atau sebagainya. Dengan
demikian, kritik sastra memberikan sumbangan kepada para ahli sastra dalam
mengembangkan teori sastranya. Disamping itu, kritik sastra juga sangat besar
peranannya di dalam penyusunan sejarah sastra. Di dalam menyusun perkembangan
penggunaan unsur bunyi, kombinasi kata, gaya bahasa, pikiran-pikiran yang
dikemukakan, oleh pengarang, filsafat, pandangan hidup, dsb. Para ahli sejarah
sastra dapat memanfaatkan hasil kritik sastra dalam hal memilih hasil-hasil
seni karya sastra yang bermutu, sebab tidak semua hasil sastra dimasukkan ke
dalam rangkaian sejarah sastra. Yang dicatat dalam sejarah sastra adalah hasil
karya yang menunjukkan perkembangan baru yang berbobot sastra.
Peranan
kritik sastra yang lain ialah sebagai jembatan antara karya sastra dengan para
penikmat. Banyak karya sastra baik berbentuk puisi maupun prosa, karena
mengandung makna atau dari nilai kehidupan yang dalam, sukar dihayati oleh
pembaca. Dengan adanya kritik sastra, para pembaca lebih dapat menikmati
karya-karya tersebut, sehingga secara tidak langsung akan dapat mempertinggi
taraf kehidupan rohani masyarakat.
Dapat
disimpulkan bahwa kritik sastra yang tepat mampu menunjukkan nilai-nilai suatu
karya sastra, meniadakan hal-hal yang sulit serta rumit yang menyelimuti karya
tersebut disebabkan oleh adanya uraian, penjelasan, serta penafsiran dari
kritikus. Banyak karya sastra yang sebenarnya bermutu, tapi kurang mendapat
penghargaan dari masyarakat sastra khususnya pembaca tidak dapat menangkap
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Jika kritikus berhasil mengungkapkan
nilai-nilai yang terkandung di dalam suatu karya misalnya dengan menjelaskan
metafora-metafora, lambang-lambang yang sukar ditangkap, serta
implikasi-implikasi yang terdapat di balik itu semua, maka karya-karya
termaksud di atas tidak lagi menyulitkan masyarakat pembaca. Dengan demikian,
lebih dapat menikmati karya sastra secara lebih baik dan lebih bermakna, dan
ini berarti meningkatkan kemampuan apresiasi sastra.
Ruang
lingkup sastra adalah kreativitas penciptaan karya sastra dengan segala rupa
estetikanya, sedangkan ruang lingkup studi sastra adalah ilmu pengetahuan
dengan sastra sebagai objeknya. Sastra, atau yang biasa disebut dengan karya
sastra , memfokuskan diri pada karya penciptaan atau kreativitas yang dilakukan
oleh manusia melalui media bahasa. Sementara itu, studi sastra memfokuskan pada
ilmu pengetahuan kemanusiaan (humaniora). Pertanggungjawaban sastra adalah estetika dengan segala kreativitasnya, sedangkan
pertanggungjawaban studi sastra adalah logika ilmiah dengan metode-metode
ilmiahnya.
Dalam
studi sastra ini, aspek kehidupan yang begitu luas tentu dapat dipetakan atau
dipilah-pilahkan sesuai dengan bidang-bidang atau wilayah-wilayahnya. Secara
sederhana, studi kesusastraan itu meliputi lima wilayah atau bidang kajian
sastra sebagai berikut:
1.
Studi
Penciptaan, adalah studi tentang dunia seniman, dunia sastrawan, dunia penyair
atau dunia pengarang, yaitu studi tentang dunia pengucapan sastrawan dalam
menciptakan karya sastra. Kajian wilayah studi penciptaan ini kemudian
menimbulkan pendekatan eksternal atau ekstrinsik, yang meliputi (1) biografi
dan latar kehidupan pengarang, (2) proses kreatif dan latar penciptaan karya
sastra, (3) aktivitas budaya pengarang, (4) respon budaya pengarang, dan (5)
kesadaran budaya pengarang.
2.
Studi
Kekaryaan, adalah studi tentang dunia karya sastra atau teks sastra, yaitu
studi tentang buah karya atau hasil ciptaan pengarang. Wilayah kekaryaan sering
disebut dengan istilah genre sastra (literary genre), yang dalam
bahasa Indonesia diartikan sebagai tipe, jenis, ragam, atau bentuk
karya sastra. Studi kekaryaan ini berkembang hingga akhirnya menimbulkan
pendekatan tekstual, objektif, instrinsik, dan berbagai pendekatan lain yang
berorientasi pada teks karya sastra secara otonom dengan koherensi interen.
3.
Studi
Penikmatan, adalah studi sastra yang berhubungan dengan pembaca karya sastra.
Peran pembaca ini dapat sebagai pembaca awam, peneliti, pengamat, kritikus,
siswa, pelajar, guru, mahasiswa, komunitas sastra, dan dosen yang mengajar dan
mengapresiasi karya sastra. Dalam studi sastra wilayah penikmatan ini dapat
menimbulkan pendekatan pragmatik dan resepsi sastra atau estetika resepsi yang
berorientasi kepada pembaca.
4.
Studi
Pendukung, adalah studi karya sastra yang berhubungan dengan pendukung
keberadaan karya sastra, seperti masalah-masalah sosial yang melingkupi
keberadaan sastra, masyarakat pembacanya, komunitas sastra, media massa cetak
(koran dan majalah) media massa elektronik (radio, televisi, CD, dan internet),
penerbit, editor, toko buku, perpustakaan, pusat-pusat dokumentasi, dan
lembaga-lembaga terkait lainnya.
5.
Studi
Keilmuan, adalah studi sastra yang berhubungan dengan ilmu-ilmu sastra, yaitu
studi tentang berbagai pengetahuan yang dapat digunakan untuk memahami,
menelaah, mengulas, mengapresiasi, merebut makna, dan mengevaluasi karya
sastra.
Demikian
secara ringkas peta wilayah studi kesusastraan yang dapat dijelajahi setiap
saat berhubungan dengan pilihan studi masalah-masalah sastra. Dengan peta
ringkas wilayah-wilayah kesusastraan diatas dapat diperoleh gambaran dimana
sebenarnya letak atau posisi kritik sastra tersebut. Namun, dalam praktek
kerjanya wilayah keilmuan yang akan mendominasi dan merasuki ke berbagai
wilayah studi sastra tersebut. Secara umum, posisi kritik sastra dapat meliputi
semua bidang studi sastra, karena pemahaman kritik sastra juga sama dengan
pemahaman studi kesusastraan. Namun, secara khusus, posisi kritik sastra berada
dalam cakupan wilayah ilmu sastra.
C.
Batasan dan Manfaat Kritik Sastra
Berdasarkan
pengertian dan istilah asalnya dari bahasa Yunani kuno yaitu krites,
krinein, kriterion, dan kritikos itu, beberapa pakar sastra kemudian
memberi batasan atau definisi tentang kritik sastra sebagai berikut;
1.
“Kritik
sastra adalah salah satu jenis esai, yaitu pertimbangan baik atau buruk sesuatu
hasil kesusastraan. Pertimbangan itu tentu dengan memberikan alasan-alasan
mengenai isi dan bentuk hasil kesusastraan. Seorang kritikus adalah seorang
pengkritik atau penimbang ialah orang yang berperan sebagai perantara antara si
pencipta dan orang banyak.” (H.B. Jassin, 1983: 95 dalam Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta:
Gunung Agung, Cet. VI)
2.
“Kritik
sastra adalah bidang studi sastra untuk ‘menghakimi’ karya sastra, untuk
memberi penilaian, dan keputusan mengenai bermutu atau tidaknya suatu karya
sastra yang sedang dihadapi oleh kritikus” (Rachmat Joko Pradopo, 1994: 10
dalam bukunya yang berjudul Prinsip-prinsip Karya Sastra. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press).
3.
“Kritik
sastra adalah pembicaraan atau tulisan yang membandingkan, menganalisis,
menafsirkan, dan menilai karya sastra” (Panuti Sudjiman, 1990: 46 dalam buku Kamus
Istilah Sastra. Jakarta: UI-Press).
Batasan-batasan
kritik sastra yang disebutkan di atas pada dasarnya memiliki jalan pikiran yang
hampir sama, perbedaannya hanyalah terletak pada perumusan atau redaksionalnya saja.
Dari uraian di atas dapat ditarik simpulan bahwa kritik sastra adalah studi
tentang keilmuan yang berupaya menentukan nilai hakiki karya sastra dalam
bentuk memberi pujian, menyatakan kesalahan, dan memberi pertimbangan melalui
pemahaman deskriptif, pendefinisian, penggolongan, (klasifikasi), dan penilaian
sastra secara sistematis dan terpola dengan menggunakan metode tertentu.
Adapun
suatu ilmu pengetahuan yang dipelajari dan diperdalam ini tentu ada manfaat dan
kegunaannya bagi kehidupan. Demikian pula kritik sastra sebagai ilmu
pengetahuan tentang hal ihwal sastra juga memiliki manfaat bagi kehidupan, baik
secara langsung maupun tidak. M. Atar Semi (1984: 24-26) menyatakan ada tiga
fungsi atau kegunaan kritik sastra, yaitu:
1.
Untuk Pembinaan dan Pengembangan Sastra.
Fungsi
utama kritik sastra adalah melakukan pembinaan terhadap sastrawan atau
penulis-penulis karya sastra dan mengembangkan hasil-hasil karya sastra yang
ditulisnya. Pembinaan dapat dilakukan terhadap orang atau sastrawannya.
Sementara itu, pengembangan dapat dilakukan terhadap kemampuan penulisan karya
sastra dan hasil karyanya yang sekaligus peningkatan mutu sastra. Dalam hasil
ini pembinaan dan pengembangan sastra dapat dilakukan penilaian terhadap karya
sastra. Setiap karya sastra yang memiliki mutu tinggi, sastrawannya dapat
diberikan penghargaan atau hadiah sastra.
2.
Untuk Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan dan Apresiasi Seni.
Kritik
sastra dapat berfungsi untuk membina dan mengembangkan tradisi kebudayaan suatu
bangsa dan menghargai nilai-nilai seni yang terdapat dalam suatu masyarakat.
Karya sastra merupakan dokumen budaya bangsa yang sangat berharga dan perlu
ditingkatkan produknya. Dengan adanya kritik sastra dapat dipahami dan mengerti
kandungan nilai-nilai yang terdapat dalam karya tersebut.
3.
Untuk Menunjang Ilmu Sastra
Kritik
sastra berguna pula untuk pembinaan dan pengembangan ilmu-ilmu sastra, baik
teori sastra, teori kritik sastra, maupun penyusunan sejarah sastra. Sejarah
telah membuktikan bahwa perkembangan dan kepesatan laju ilmu sastra dapat
dilihat dari sejarah perkembangan kritik sastranya. Jadi, kemajuan ilmu sastra
sangat bergantung pada perkembangan dan kemajuan kritik sastranya. Sementara
itu, Rachmat Joko Pradopo (1990: 93; 1994: 14; dan 2001: 36-39) menyatakan
bahwa pada pokoknya kritik sastra mempunyai tiga kegunaan atau kepentingan,
yaitu; (1) kegunaan bagi ilmu sastra itu sendiri. (2) bagi perkembangan
kesusastraan. (3) berguna bagi masyarakat pada umumnya yang menginginkan
penerangan tentang karya sastra.
Dari
ketiga kegunaan tersebut saling berperan aktif dalam proses terjadinya kritik
terhadap sebuah karya sastra. Ketika seseorang akan menyusun teori sastra
tentang jenis sastra, pakar sastra tersebut memerlukan bantuan kritik sastra
tentang jenis-jenis sastra yang ditelitinya. Demikian pula ketika hendak
menguraikan struktur atau norma-norma sastra.
D.
Pendekatan Kritik Sastra
Seorang
kritikus di dalam menilai karya sastra menggunakan suatu pendekatan yang ia
anggap paling tepat. Pendekatan ini biasanya tidak lepas dari pandangan apa
hakikat sastra itu. Karena pandangan terhadap hakikat sastra itu berbeda-beda,
maka terdapat pula perbedaan-perbedaan pendekatan yang tidak jarang menjadi
suatu pertikaian yang sengit. Sehubungan dengan hal di atas, M. H. Abrams
membuat suatu kerangka tentang karya sastra yang sekiranya dapat dipakai
sebagai pangkal tolak pendekatan-pendekatan dalam kritik sastra. Kerangka
dimaksud ialah sebagai berikut:
1.
Pendekatan
Objektif. Pendekatan ini menganggap bahwa
karya sastra itu sesuatu yang mandiri. Karya sastra itu suatu keutuhan yang
berdiri sendiri, tersusun dari bagian-bagian yang saling berjalinan erat secara
batiniah. Yang menjadi pusat perhatian pendekatan ini ialah karya itu sendiri,
sejauh mana keterjalinan bagian-bagian itu dalam membentuk suatu keseluruhan.
Dengan kata lain, pendekatan ini hanya memperhatikan faktor-faktor internal
karya sastra, tidak mengaitkannya dengan faktor-faktor eksternal.
2.
Pendekatan
Ekspresif. Pendekatan ini menganggap bahwa
karya sastra itu merupakan hasil curahan pengalaman jiwa pengarang. Yang
menjadi pusat perhatian ialah jiwa pengarang. Sejauh mana keberhasilan
pengarang dalam mengekspresikan jiwanya itu dalamwujud karya sastranya.
3.
Pendekatan
Mimetik. Pendekatan ini memandang bahwa
karya sastra itu suatu tiruan aspek-aspek alam, pencerminan dunia nyata. Yang
menjadi pusat perhatian ialah kebenaran pembayangan terhadap objek yang
digambarkan atau hendaknya digambarkan.
4.
Pendekatan
Pragmatik. Pendekatan ini memandang karya
sastra sebagai sarana untuk mencapai tujuan, untuk mencapai efek tertentu pada
pembaca, misalnya kenikmatan, keindahan, pendidikan, sosial, politik.
Kecenderungan pendekatan ini ialah menilai sejauh mana keberhasilan karya
sastra itu dalam mencapai tujuan.
Keberagaman
pendekatan yang ada kiranyadapat dikembalikan ke empat pendekatan di atas.
Apabila suatu pendekatan itu menitikberatkan penilaiannya terhadap karya sastra
sebagaimana adanya dapat disejajarkan dengan pendekatan yang objektif. Apabila
penilaian dititikberatkan pada pengaruhnya, pendekatan di atas dapat dimasukkan
bahwa pendekatan ekspresif. Apabila perhatian utama ditujukan pada karya sastra
itu sebagai pencerminan dunia kehidupan, dapat disamakan dengan pendekatan
mimetik. Dan apabila suatu pendekatan itu memusatkan penilaiannya pada
keberhasilan tujuan yang hendak dicapai dapat disamakan dengan pendekatan
mimetik. Perlu diketahui bahwa keempat pendekatan di atas dalam kenyataannya
tidak dapat dipisah-pisahkan secara mutlak, misalnya pendekatan mimetik pun
sebenarnya terkandung pula pendekatan pragmatik. Namun demikian, pendekatan
model Abrams ini sangat bermanfaat untuk memahami teori sastra serta
pendekatan-pendekatan karya sastra dalam keragamannya.
E.
Metode Kritik Sastra
Kata
metode berasal dari bahasa Latin methodos, dari kata meta
dan hodos. Kata meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah,
dan kata hodos berarti jalan, cara, arah. Secara luasnya kata metode
dapat diartikan sebagai ‘cara-cara atau strategi untuk memahami realitas, dan
langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya’.
Sebagai alat, metode disamakan dengan teori, yaitu berfungsi untuk
menyederhanakan masalah sehingga memudahkan untuk memecahkan masalah itu. Jadi,
metode kritik sastra adalah cara-cara sistematis untuk memahami makna karya
sastra. Menurut Rachmat Djoko Pradopo (2002: 20-24) ada empat empat metode
kritik sastra yang secara umum digunakan oleh kritikus sastra, yaitu: (1)
metode struktural, (2) metode perbandingan, (3) metode sosiologi sastra, dan
(4) metode estetika resepsi. Agar lebih jelasnya, keempat metode kritik sastra
tersebut dijabarkan sebagai berikut:
1.
Metode Struktural
Metode
struktural berdasarkan teori bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang
terdiri atas bermacam-macam unsur pembentuknya itu terdapat jalinan yang erat
(koherensi). Makna unsur-unsur karya sastra itu hanya dapat dipahami dan
dinilai sepenuhnya atas dasar empat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan
karya sastra. Oleh karena itu, metode struktural merupakan metode kritik
objektif yang mendasarkan pada jalinan (koherensi) dengan unsur-unsur lain
dalam struktur tersebut. Pelopor strukturalisme, Claude Levi-Strauss,
strukturalismenya bersifat umum karena mencakup semua gagasan struktur. Menurut
Levi-Strauss “Strukturalisme adalah suatu cara mencari realitas dalam hal-hal
(benda-benda) yang saling berjalinan antara sesamanya, bukan dalam hal-hal yang
bersifat individu”.
Formulasi
yang demikian itu menjadi terlalu luas cakupannya sehingga terasa tidak begitu
mudah untuk diterapkan dalam kajian ilmu diluar antropologi. Berdasarkan kenyataan
seperti itu para pakar ilmu bahasa beralih perhatian kepada Ferdinand de
Saussure, seorang pakar linguistik dari Swiss. Meskipun de Saussure tidak
berbicara tentang struktur, ia berbicara tentang sistem dalam analisis bahasa.
Teori yang dikemukakan de Saussure itu begitu cemerlang yang meliputi (1)
penampangan diakronis dan sinkronis, (2) langue (bahasa) dan parole (tuturan),
(3) penanda (bentuk) dan petanda (gagasan), dan (4) sintakmatik dan asosiatif.
2.
Metode Perbandingan
Metode
perbandingan disini diartikan sebagai upaya untuk mendapatkan hasil pemahaman
makna karya sastra dengan jalan membandingkan dua karya sastra atau lebih yang
menunjukkan adanya persamaan atau perbedaan tema, struktur, atau pun gaya.
Dalam metode perbandingan ini dapat pula dikaitkan dengan teori intertekstual
yang berprinsip terdapatnya persamaan atau pun perbedaan dalam satu genre
ssastra dari yang lam ke yang baru atau dari karya sastra yang terdahulu dan
karya sastra yang kemudian, baik strukturnya, unsur-unsur pembentuk struktur ,
maupun gaya yang digunakannya. Perbandingan dapat dilihat dari jalur
kesejajaran teks, tematiks teks, genre teks, dan genetik teks.
3.
Metode Sosiologi Sastra
Metode
sosiologi sastra berdasarkan prinsip bahwa karya sastra merupakan refleksi/cerminan
masyarakat pada zaman karya sastra itu ditulis. Sebagai anggota masyarakat,
penulis tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan sosial budaya, politik,
keamanan, ekonomi, dan alam yang melingkupinya. Selain merupakan suatu
eksperimen moral yang dituangkan oleh pengarang melalui bahasa, sastra dalam
kenyataannyamenampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri merupakan
kenyataan sosial (Damono, 1978:1). Seperti halnya karya seni yang lainnya,
karya sastra adalah refleksi transformasi pengalaman hidup dan kehidupan
manusia, baik secara nyata ada maupun hanya rekaansemata, yang
dipenggal-penggal dan kemudian dirangkai kembali dengan imajinasi, persepsi,
dan keahlian pengarang serta disajikan melalui sebuah media (bahasa). Sebagai
lembaga sosial, kesusastraanmenampung berbagai aspirasi masyarakat yang
disuarakan oleh pengarang melalui karya sastra yang dihasilkannya. Masalah
kekuasaan tak luput menjadi perhatian para sastrawan sejak zaman dahulu sampai
sekarang.
4.
Metode Estetika Resepsi
Metode
estetika resepsi mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra itu sejak
terbitnya selalu mendapat resepsi atau tanggapan para pembacanya. Sebab karya
sastra merupakan struktur estetik yang terdiri atas tanda-tanda estetik yang dipancarkan
kepada pembacanya. Di dalam metode estetika resepsi yang perlu diperhatikan bukan
hanya eksistensi sebuah karya sastra, melainkan juga resepsi pembacanya.
Sementara itu resepsi ditentukan oleh penerimaan estetik, interpretasi, dan
evaluasi pembacanya(Vodicka, 1964: 71). Estetika resepsi adalah sebuah metode
kritik sastra yang menitik beratkan pada peranan pembaca yang memperhatikan
karya sastra sebagai sebuah struktur. Di satu pihak pembaca memiliki
nilai-nilai yang berubah. Sementara itu, di lain pihak karya sastra sebagai
sebuah struktur menentang struktur karya sebelumnya. Estetika resepsi melihat
nilai sastra sebagai sebuah konsep dari perubahan yang tetap, bergantung pada
sistem norma pembacanya. Metode estetika resepsi merupakan sebuah kejutan untuk
evaluasi kesusastraan guna melengkapi perbedaan pandangan dari konsep “nilai
kesusastraan”. Hal tersebut disebabkan selama ini struktural menganggap bahwa
nilai sastra terlepas dari pembacanya (Segers, 1978: 49).
F.
Kesimpulan
Pembaca
karya sastra yang baik adalah pembaca yang dapat mencapai tingkat apresiasi.
Ada tiga tingkatan apresiasi: apresiasi empatik, apresiasi estetik, dan
apresiasi kritik. Pada tahap apresiasi empatik seseorang terlibat secara
intelektual, emosional, dan imajinatif di dalam suatu karya sastra. Seseorang
tersebut memikirkan, merasakan, serta menghayalkan sebagaimana yang terjadi
pada diri pengarang pada waktu mencipta karya sastra yang dibacanya. Tahap ini
dipandang sebagai tahap yang paling awal. Pada tingkat apresiasi estetik,
seseorang telah mengambil jarak dengan karya sastra yang dihadapainya.
Seseorang tersebut mengamati unsur demi unsur karya sastra yang dibacanya,
mengamati keharmonisan pertautan antar unsur karya sastra tersebut sampai
membentuk sebuah struktur karya sastra yang padu, dan semuanya dilakukan dengan
sangat menghayati. Apresiasi kritik berada di atas apresiasi empatik dan
apresiasi estetik. Pada tataran apresiasi kritik seseorang tidak hanya sekedar
sangat menghayati karya sastra yang dibacanya tetapi juga sangat fasih dan
mampu menjelaskan keterlibatan dirinya dalam karya sastra yang dibacanya
tersebut, dan juga mampu berbicara tentang nilai-nilai struktural intrinsik
maupun nilai-nilai relasional ekstrinsik.
No comments:
Post a Comment