Novel roman yang aslinya
diterbitkan tahun 1929 dan diterbitkan di Solo (bagian satu) dan Jakarta
(bagian dua) ini mengajak kita pada romantisme sastra klasik. Aslinya ditulis
dalam bahasa Arab Melayu, dan kini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, memang
benar-benar romantis. Alkisah Abdullah, seorang pemuda keturunan Arab dan
tinggal di sebuah desa di kota Garut, jatuh cinta dengan Neng, seorang gadis
asal Garut yang fasih berbahasa Arab dan Sunda. Berbagai lika-liku dijalani
keduanya, termasuk beberapa problematika keluarga dan sosial, dan pada akhirnya
happy ending.
Buat mereka yang tidak terbiasa dengan gaya bahasa klasik, mungkin butuh waktu
untuk menyesuaikan diri dengan gaya bahasa yang berputar-putar, penuh keindahan,
kata-kata simbol, dan sebagainya. Tak pelak lagi Abdullah Assegaf memang
seorang pencerita romantis. Bukannya tidak mungkin tokoh Abdullah adalah
personifikasi sang penulis, dan bukannya tidak mungkin kisahnya berdasarkan
pengalaman pribadi penulis.
Sayid Ahmad Abdullah Assegaf adalah seorang pemuda keturunan Yaman yang
merantau dan akhirnya menetap di Indonesia. Gadis Garut (sayang judulnya
terdengar cheesy) adalah salah satu karya sastranya. Kelak beliau melanjutkan
perjalanan, dan meninggalkan keluarganya di pulau Jawa, dan meninggal di
perairan Laut Jawa 15 Maret 1950.
Novel Fatat Garut ditulis oleh S. Ahmad Abdullah
Assegaf, keturunan Arab kelahiran Yaman tahun 1882. la pernah lama tinggal di
beberapa daerah di Indonesia dan Singapura. Ia juga sempat tinggal beberapa
lama di Garut, tepatnya di Rancabango dan Rancanasar. Kemungkinan besar latar
belakang kehidupannya di Garut itulah yang mendorongnya menulis Fatat Garut.
Fatat Garut awalnya terdiri dari 2 juz. Juz pertama diterbitkan di Solo dan juz
kedua diterbitkan di Jakarta. Keduanya terbit pada tahun 1929. Pada tahun 1997,
novel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ali bin Yahya dan
diterbitkan oleh penerbit Lentera Jakarta dengan judul Gadis Garut, Roman
Kehidupan Multi etnik Indonesia Awal Abad XX.
Fatat Garut mengisahkan hubungan percintaan tokoh
Abdullah (pria Arab) dengan Neng (keturunan Sunda Arab) dengan berbagai konflik
dan romantikanya. Namun dari berbagai argumen yang disampaikan tokoh-tokohnya
tersirat dengan jelas bahwa melalui novelnya ini penulis ingin
"melawan" pandangan kaum orientalis Barat yang merendahkan Islam dan
Arab.
Walaupun setting dan beberapa tokohnya berasal
dari Garut, novel ini sangat berbau Arab dan menggambarkan lingkungan yang
multi etnik. Misalnya beberapa tokoh novel ini berasal dan berlatar budaya dari
berbagai bangsa seperti Sitrun (India), Syarifah (peranakan Sunda-Arab), d
Mould (Amerika), van Ridjik (Belanda), Abdul Kadir (Arab), dan L Mukhti
(Sunda). Melihat deskripsi ini, kemungkinan Garut pada masa itu menjadi tempat
tinggal orang-orang dari berbagai bangsa.
Yang menarik, novel ini mengandung, deskripsi
tentang keadaan Garut pada awal abad ke-20. Ada satu bab yang khusus
menceritakan Garut di bagian awal novel ini. Dari deskripsi itu, terlihat jelas
bahwa Abdullah Assegaf yang juga seorang wartawan, tabu betel situasi Garut
saat itu. Misalnya dilukiskan bahwa, "Seandainya pulau Jawa yang
dianugrahi Allah tanah yang subur dan pemandangan yang indah kita umpamakan
seikat cincin jamrud, maka Garut adalah pusat dari cincin itu yang merupakan
permata yang tiada bandingnya."
Pada bagian lain Assegaf mengisahkan, "Garut
bukanlah daerah perdagangan, melainkan daerah yang banyak tempat rekreasinya.
Karena itu banyak didirikan tempat-tempat penginapan yang besar dan dan
rumah-rumah makan yang teratur rapi yang menyediakan semua yang dapat
menyenangkan para wisatawan dan meme¬nuhi cita rasa mereka. Kebanyakan
orang-orang Eropa yang mene¬tap di Garut adalah para wisatawan dan orang-orang
yang ingin menikmati udaranya yang sejuk." Sementara di bagian akhir bab
tentang Garut ini, ia menulis, "Anda berada di suatu alam di mana teman
Anda adalah pemandangan yang indah dan kawan bicara Anda adalah alam yang
nyata."
Penulis Sejarah dan Sasterawan Hebat
Salah satu pakar nasab di Indonesia yang meletakkan
dasar-dasar ilmu nasab adalah Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaf.
Selain dikenal sebagai pakar ilmu nasab yang jempolan, ia juga dikenal
wartawan, sastrawan dan guru bagi banyak orang.
Habib Ahmad dikenal sebagai wartawan, sejarawan, dan sastrawan keturunan Arab yang terkenal pada masa kemerdekaaan RI. Sayid Ahmad bin Abdullah Assegaf, banyak menyerang pemerintah kolonial Belanda lewat tulisan-tulisannya. Untuk melengkapi data tulisannya itu, dia mendatangi berbagai tempat di Indonesia untuk bertemu dengan tokoh masyarakat, ulama, dan sejarawan.
Habib Ahmad dikenal sebagai wartawan, sejarawan, dan sastrawan keturunan Arab yang terkenal pada masa kemerdekaaan RI. Sayid Ahmad bin Abdullah Assegaf, banyak menyerang pemerintah kolonial Belanda lewat tulisan-tulisannya. Untuk melengkapi data tulisannya itu, dia mendatangi berbagai tempat di Indonesia untuk bertemu dengan tokoh masyarakat, ulama, dan sejarawan.
Ia juga adalah salah satu pendiri pergerakan Arrabithah Al-Alawiyyah dan sekaligus menerbitkan majalah Arrabithah Al-Alawiyyah, majalah yang mengupas bidang keagamaan dan politik. Majalah Arrabithah Al-Alawiyyah dalam waktu yang tidak lama menjadi wadah bagi para penulis muda untuk menyampaikan pendapat mengenai keislaman dan politik, berperan sebagai sarana untuk menampik pengaruh orientalis barat di Indonesia.
Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff sendiri lahir pada tahun 1299 H (1879 M) di kota Syihr, Hadramaut. Ketika umurnya menginjak usia 4 tahun, ia dibawa oleh kedua orang tuanya ke kota Seiwun, saat itu terkenal sebagai kota ilmu yang menghasilkan banyak ulama besar dan shalihin. Di kota itu, ia mempelajari ilmu ushuludin, fiqh, tata bahasa, sastra dan tasawuf.
Tak puas menyerap ilmu di Seiwun, lantas ia pergi ke Tarim yang saat itu juga dikenal sebagai pusat para ulama besar. Hampair setiap hari, ia mendatangi majlis-majlis ilmu dan mengadakan hubungan yang akrab dengan guru-guru yang shalih, seperti Sayid Abdurahman bin Muhammad al-Masyhur, Syaikh Saleh, Syaikh Salim Bawazier, Syaikh Said bin Saad bin Nabhan, Sayyid Ubaidillah bin Muhsin Assegaff, Habib Ahmad bin Hasan Alattas, Habib Muhammad bin Salim As-Siri dan lain-lain.
Ustadz Ahmad Assegaff dikenal sangat gemar mengadakan perjalanan ke berbagai negeri tetangga untuk menemui ulama-ulama dan mengadakan dialog dengan para cendekiawan, sehingga ia sangat dikagumi oleh pusat-pusat ilmiah pada masa itu.
Tahun 1333 H (1913 M), ia berlayar ke Singapura
dan ke Indonesia untuk mengunjungi saudaranya yang tertua, Sayid Muhammad bin Abdullah
bin Muhsin Assegaff di Pulau Bali. Ia tinggal di Pulau Dewata itu beberapa
lama, sambil berguru sekaligus berdakwah di sana.
Ia kemudian melanjutkan perjalanannya ke
Surabaya, berjumpa dengan beberapa perintis pergerakan Islam serta para
cendekiawan. Mereka sering terlibat diskusi membahas kebangkitan pergerakan
keturunan Arab dan kaum muslimin di masa mendatang.
Habib Ahmad saat itu terpilih menjadi direktur
yang pertama dari Madrasah Al-Khairiyah di Surabaya. Ia memimpin sekolah yang
kebanyakan diikuti oleh warga keturunan arab itu dengan sangat bijaksana dan
mulai saat itu namanya dikenal sebagai orang yang ahli dalam bidang pendidikan.
Di kota Surabaya, ia menikah dan mempunyai beberapa orang putra.
Kemudian, ia pindah ke Solo dan tetap bersemangat
mencari ilmu pengetahuan. Di kota batik inilah ia mempelajari ilmu psikologi
dan manajemen sekolah, kebetulan ia juga menjadi salah pengurus sekolah swasta.
Selain mengajar, ia juga berdagang sehingga ia sering pergi ke Jakarta untuk
mengurus perniagaannya. Usaha dagang semakin maju. Itu membuat Habib Ahmad
pindah ke Jakarta dan menjadi pimpinan sekolah Jami’at Kheir.
Berbagai
perubahan demi kemajuan dalam pendidikan mulai ia rintis, di antaranya dengan
membuka kelas-kelas baru bagi para pelajar, menyusun tata tertib bagi pelajar,
mengarang buku-buku sekolah serta lagu-lagu untuk sekolah.
Buku-buku
pelajaran yang ia susun diantaranya terdiri dari buku-buku agama, sastra dan
akhlaq. Keberhasilannya dalam memimpin sekolah dan menciptakan sistem
pendidikan, mengundang perhatian yang luas dari pemerhati masalah pendidikan
baik dalam maupun luar negeri, seperti dari Malaysia dan Kesultanan Gaiti di
Mukalla. Intinya, mereka meminta Habib Ahmad untuk memimpin pengajaran sekolah
di negeri mereka. Namun, permintaan tersebut ditolak dengan halus, karena ia
tengah merintis pembentukan Yayasan Arrabithah Al-Alawiyyah.
Melalui pergerakan Arrabithah Al-Alawiyyah pula,
ia mempunyai pengaruh yang sangat kuat di dalam memberikan petunjuk dan
pentingnya persatuan di kalangan umat Islam dalam menghadapi penjajahan. Semua
itu dapat dilihat dalam qasidah, syair serta nyanyian yang ia karang.
Salah satu kitab yang dikarang oleh Habib Ahmad adalah Kitab Khidmatul Asyirah. Kitab itu dibuat sebagai ringkasan dari kitab Syams Azh-Zhahirah. Dalam kitab ini Habib Ahmad menguraikan secara sistematis mengenai nasab dan pentingnya setiap orang memelihara kesucian nasabnya dengan ahlak yang mulia. Karena tidaklah mudah untuk menjaga nasab, sebagai ikatan penyambung keturunan serta asal-usul kembalinya keturunan seseorang kepada leluhurnya.
Dalam kitab ini, riwayat seseorang ia diteliti dengan seksama supaya terjaga kesucian nasabnya, dengan susunan yang tertib dari awal sampai akhir. Habib Ahmad bekerja keras untuk menyempurnakan isi buku ini walaupun ia mempunyai kesibukan yang luar biasa baik Rabithah Alawiyah maupun sebagai pengajar di Jami’at Kheir. Segala rintangan dihadapinya dengan penuh ketegaran dan semangat pantang mundur dengan satu tekad menyusun sejarah nasab Alawiyin merupakan pekerjaan yang sangat mulia.
Salah satu kitab yang dikarang oleh Habib Ahmad adalah Kitab Khidmatul Asyirah. Kitab itu dibuat sebagai ringkasan dari kitab Syams Azh-Zhahirah. Dalam kitab ini Habib Ahmad menguraikan secara sistematis mengenai nasab dan pentingnya setiap orang memelihara kesucian nasabnya dengan ahlak yang mulia. Karena tidaklah mudah untuk menjaga nasab, sebagai ikatan penyambung keturunan serta asal-usul kembalinya keturunan seseorang kepada leluhurnya.
Dalam kitab ini, riwayat seseorang ia diteliti dengan seksama supaya terjaga kesucian nasabnya, dengan susunan yang tertib dari awal sampai akhir. Habib Ahmad bekerja keras untuk menyempurnakan isi buku ini walaupun ia mempunyai kesibukan yang luar biasa baik Rabithah Alawiyah maupun sebagai pengajar di Jami’at Kheir. Segala rintangan dihadapinya dengan penuh ketegaran dan semangat pantang mundur dengan satu tekad menyusun sejarah nasab Alawiyin merupakan pekerjaan yang sangat mulia.
Habib
Ahmad, dalam kitab Khidmatul Asyirah menambahkan catatan beberapa orang yang
terkemuka serta para ulama yang hidup sekitar tahun 1307-1365 H, saat menulis
kitab ini sekitar tahun 1363 Habib Ahmad menghitung terdapat lebih dari 300
qabilah dan kitab ini pertama kali diterbitkan di Solo pada Rabiul Awal 1365 H.
Dari
sekitar 20 buah bukunya, Ahmad bin Abdullah Assagaf sempat menulis sejarah
Banten berjudul Al-Islam fi Banten (Islam di Banten). Karangannya yang
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah Fatat Garut (Gadis Garut)
berupa roman kehidupan multietnik Indonesia di awal abad ke-20 oleh penerbit
Lentera pada tahun 1997 dan diterjemahkan oleh Drs. Ali bin Yahya. Karya sastra
ini sangat indah dan patut untuk dibaca karena banyak mengandung budaya bangsa
dan syair-syair.
Karya-karyanya
yang lain banyak disebarluaskan di madrasah-madrasah sebagai buku wajib
pelajaran sekolah baik dalam mau pun di luar negeri. Diantaranya adalah
cerita-cerita yang berisi masalah pendidikan seperti Dhahaya at-Tasahul, dan
Ash-Shabr wa ats-Tsabat (berisi tentang cara hidup yang baik di dalam masyarakat
untuk mencapai kemulian dunia dan akhirat), buku-buku pendidikan dan ilmu jiwa,
Sejarah masuknya Islam di Indonesia dan lain-lain.
Keahlian
Habib Ahmad didalam syair mendapat pengakuan dari banyak ahli syair di negara
Arab. Selain itu Habib Ahmad juga punya keahlian di bidang kerajinan tangan dan
elektronika dan pernah membuat sebuah alat musik yang dinamakan Alarangan.
Saat tentara
Jepang datang ke Indonesia pada tahun 1942 dan menyerbu Hindia Belanda serta
menyebabkan pertempuran yang sengit di Batavia menyebabkan Habib Ahmad pindah
ke Solo. Setelah pertempuran mereda, Habib Ahmad kembali ke Jakarta dan
mengajar di Kalibata.
Setelah 40 tahun menetap di Indonesia, pada 1950 ia berniat meninggalkan
Indonesia menuju ke Hadramaut.
Tepat pada hari Jumat, 22 Jumadil Awwal 1369 H ia
berangkat dari Jakarta, dengan mempergunakan kapal laut dari pelabuhan Batavia.
Namun Allah SWT telah menentukan umurnya, tepatnya Selasa 26 Jumadil Awal 1369 H
ia berpulang ke haribaan-Nya.
Setelah
diadakan upacara keagamaan seperlunya di atas kapal, pada hari Kamis, 28
Jumadil Awal 1369 H, jenazahnya kemudian dimakamkan di laut lepas, sebelum
memasuki pelabuhan Medan. Yang sangat disayangkan, banyak karya Habib
Ahmad yang belum sempat dibukukan juga ikut hilang dalam perjalanan itu.
No comments:
Post a Comment